NAMAKU RANIA

Lagi-lagi aku mendengar suara tangis dari rumah semi permanen di belakang rumahku. Aku yang sedang asik membaca dengan terpaksa melepas kacamataku dan juga menghempaskan novelku di atas meja. Kusingkap selimutku dan segera turun dari ranjang hangatku. Ini sudah kesekian puluh kalinya aku mendengar tangisan di malam hari. Tangisan yang disertai bentakan yang menyalak-nyalak. Dari nada yang terlempar ke telingaku itu aku tahu, bahwa suara yang menyalak-nyalak itu adalah suara Rania, teman kecilku dulu. Sedang tangis yang terdengar menyayat hati itu adalah suara anak kecilnya yang manis, Raja.
Aku bergegas memakai sandal kamarku dan berjalan ke arah dapur. Dengan sedikit memanjat kursi kayu, aku melihat lampu rumah Rania menyala. Dan bayangan tubuhnya itu menunjukkan dia sedang berkacak pinggang ke arah anaknya yang mungkin dia dudukkan di atas meja. Tangannya terus saja menunjuk-nunjuk ke arah anak itu yang terdengar berusaha menahan tangisnya. Kasihan Raja. Anak itu terlalu manis untuk dibuat menangis.
******
Benar kata orang, masa kecil adalah masa pencarian jati diri. Masa dimana kita dibentuk oleh lingkungan, terlepas dari apa dan bagaimana komposisi kromosom dan hal-hal genetis lain. Dan karena rumah kami berdekatan, membuat kami sangat karib.
Waktu memainkan kuasa atas perannya. Dan zaman pun bergulir dengan semestinya. Himbauan pemerintah dan juga tuntutan tingginya pendidikan yang kulalui, aku diharuskan orang tuaku untuk mengejar pendidikanku di kota. Aku berkerudung karena tuntutan kurikulum pendidikanku. Aku juga punya pacar karena ejekan temanku. Dan aku menghabiskan liburanku di dapur bersama ibuku. Sedang dia, dia lebih memilih merantau di kota orang.
Hubungan kami pun renggang dengan sendirinya. Dia tak pernah lagi mengajakku main layangan, seperti saat kami masih SD dulu. Dia tak lagi mengajakku menginap di mesjid bersama anak laki-laki lain. Tak ada acara mandi di sungai dengan pelepah pisang sebagai tunggangan wajib. Dan tak ada acara menonton bahkan bermain bola melawan kampung tetangga.
Bertahun-tahun, tak ada kabar tentang dia. Dan kepulangannya setelah lima tahun membuatku sedikit tersentak dengan penampilannya. Berambut pendek dan berkaos tanpa leher serta selalu berlevis pendek belel itu sama sekali tak menunjukkan bahwa dia wanita. Dadanya pun rata. Tak pernah kulihat dia menggunakan anting-anting atau perhiasan lain. Hanya sebuah gelang dari tali-temali warna hitam yang melingkari pergelangan tangannya.
Pernah aku mendengar selentingan dari kawanku yang pernah bekerja di kota dengan Rania. Dia bilang bahwa Rania itu adalah seorang lesbian. Aku sendiri tak pernah mau bersangka buruk atasnya. Walaupun dari penampilan dan sikap dinginnya pada lawan jenis begitu kentara. Tak berani kutanyakan langsung padanya, karena aku takut hal itu justru semakin membuat jarak antara kami.
*****
Lagi-lagi aku berlari ke rumahnya, memastikan ucapan ibuku bahwa Rania akan segera menikah. Aku yang merasa pernah dekat dengannya langsung ingin memburunya. Bertanya tentang keabsahan cerita ibuku.
Dia hanya dingin menanggapiku. Tak ada raut bahagia yang tersirat dari seorang calon pengantin. Tak ada roman gelisah karena hendak merubah status di tanda pengenal, atau tak ada antusias untuk memilih apa yang membuatnya terlihat cantik saat menduduki kursi pelaminan. Dia begitu beku. Tatapannya dingin menebar rasa enggan berlama-lama dengannnya.
Dan satu langkah sebelum kulewatkan pintu rumahnya, terdengar lirih dari bibirnya yang hitam itu.
“Biarkan ayahku bahagia dengan memainkan perannya, walaupun aku akan menjadi patung.”
Langkahku terhenti. Kutolehkan kepalaku dan tak mendapati dirinya dia atas kursi. Dia melenggang ke kamarnya dan menutup pintu hingga berdebam. Aku menghela nafas panjang. Ya, kuasa seorang ayah masih melingkupi atas anak gadisnya, tanpa pilihan.
******
Kabar gembira kembali kudengar saat aku menyempatkan pulang selepas ujian tengah semester. Rania melahirkan. Dan saat aku menyengaja ke rumahnya, kulihat bayi mungil itu tampak menangis di pelukan Ibunya Rania. Atmosfir bahagia tampak melingkupi rumah ini, bahkan tawa itu terdengar sampai belasan meter dari rumah semi permanen yang sederhana itu. Ayahnya Rania yang berkumis tebal tampak begitu ingin menggendong cucu pertamanya tapi tak jua dibolehkan neneknya si kecil. Sedang Rania sendiri tampak tersenyum kaku ke arah tetangga-tetangga yang ingin melihat matahari kecil keluarga besar Rania, si anak tunggal.
“Dengarkan kalian semua, akan kunamai cucuku ini dengan nama Raja. Dia akan menjadi jagoan di kampung ini. Dia akan mempersembahkan piala-piala untuk ibu-bapaknya, juga akan membantu mengangon ternak domba-domba kakeknya,” celos ayah Rania bangga.
“Hush, tak akan kubiarkan cucuku yang manis ini mengangon kambing. Dia harus belajar sampai sarjana biar seperti Habibie. Dia akan menjadi dokter seperti Pak Habibie, Pak…” sergah ibunya Rania tak mau kalah.
Dan tawa itu semakin riuh. Sedang ibu Rania hanya merona saat tahu bahwa Habibie itu bukan dokter gigi seperti yang dia tahu. Tak apalah, yang penting cucunya itu harus sehebat Pak Habibie, idolanya.
Tapi lagi dan lagi, manusia hanya punya mau, tuhan yang punya kehendak. Raja yang diharapkan tumbuh menjadi seorang pemain bola kini malah asik dengan boneka beruang pemberian tetangganya saat dia berulang tahun. Satu hal yang membuatku sedikit rikuh, Raja kecil itu terlihat lebih asik dengan mainan boneka-boneka serta buku cerita peri, daripada mobil-mobilan yang dihadiahkan kakek neneknya.
Di usia yang baru menginjak empat tahun, dia terlihat manis, bahkan kontur wajahnya dan juga proporsi tubuhnya tercetak jelas betapa ‘cantik’nya dia. Mata bulat dengan bulu mata lentik, bibir mungil dan kedip matanya menambah elok parasnya. Apalagi sebuah lesung pipi menghiasi pipinya yang seperti pualam itu.
Selepas kerja, aku sering mendapati dia sedang bermain di rumah tetangga Rania yang punya anak seorang perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Hanya bila sedang bermain dengan anak tetangga sajalah Raja bisa tertawa lepas. Bermain puteri-puterian, masak-masakan bahkan Raja sering terlihat asik dengan bedak dan juga lipstik yang diambil diam-diam dari kamar Ibu si anak perempuan yang rambutnya panjang ikal itu.
Dalam diam aku selalu berpikir, bilakah Rania adalah seorang lesbi, apakah itu berpengaruh secata genetis pada anaknya? Apakah secara hormonal Raja itu adalah kebalikan dari induknya? Entahlah, hanya tuhan yang tahu.
Satu malam di penghujung tahun, kabar duka membawa awan gelap ke rumah sederhana Rania. Ayahnya Raja meninggal dunia saat sedang bekerja. Selepas jasadnya dimakamkan, Raja masih saja menangis memanggil-manggil bapaknya. Entahlah apa yang dia tangisi. Aku tak tahu apakah anak sekecil itu faham arti kehilangan. Yang aku tahu, selain dengan anak tetangganya Riska, hanya di gendongan ayahnya saja Raja tertidur. Dan kepergian ayahnya pasti membuat dia takut. Ya, aku yakin Raja semakin takut menjalani harinya. Dia takut tak akan ada yang melindungi dia saat ibunya membentaknya. Tak ada yang membelikan lagi mainan.
Aku tak pernah menemukan dengan pasti apa yang membuat Rania seperti ini. Padahal Raja sendiri adalah seorang anak yang baik. Dia selalu tersenyum riang saat aku lewat di depan rumahnya. Kadang aku menyempatkan membeli beberapa permen warna-warni atau chiki-chiki untuknya. Tapi Rania, selalu saja membisu saat melihatku. Dan saat aku pergi, kembali teriakannya yang serak itu dia tujukan untuk Raja.
Kasihan Raja. Di usianya yang baru menginjak empat tahun itu dia telah berkawan dengan imajinasinya, karena Rania, ibunya tak memperbolehkan dia meninggalkan rumah. Tapi terus saja menemani anaknya dengan teriakan dan hardikan yang menyalak-nyalak. Dan di usianya yang masih terlalu kecil itu, dia harus kehilangan seorang ayah.
*****
Tangisan itu semakin melengking memilukan. Pikiranku kacau. Mendengar anak kecil menangis itu adalah siksaan untuk telinga seorang wanita yang tak juga kunjung dianugerahi anak sepertiku. Walaupun aku tahu bahwa orang lain tak punya hak atas urusan rumah tangga orang lain, termasuk orang tua sekalipun, tapi naluri seorang ibu yang meledak-ledak dalam diriku membantahnya. Dengan tergesa aku menghampiri rumah Rania.
Suara tangis itu masih bersisa isak, tapi jelas sekali anak itu menutup mulutnya dengan tangan gemetarnya. Sedang Rania terus saja mengoceh ini-itu. Menyemburkan hal yang tidak sepatutnya didengarkan oleh anak seusia Raja.
Dengan ragu aku mengetuk lantas membuka pintu. Rania menghujamkan pandangan marahnya padaku. Aku langsung menghambur ke arah Raja yang tampak tersedu. Untuk alasan yang tak jelas mataku meneteskan air mata. Raja mendekapku erat sekali. Seolah aku telah menyelamatkan dia yang hampir saja jatuh ke sumur kelam tak berdasar. Giginya gemelutuk dan tangannya mencengkram kuat ujung kerudungku. Badannya gemetar hebat.
Aku mencoba masuk ke dalam diri Rania lewat matanya. Di balik merah matanya, ada kesakitan dalam dirinya. Ya, aku yakin dia tak menghendaki ini. Dia sayang Raja. Aku yakin itu. Dan akhirnya dia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kayu. Lalu dia menangis sesengukan. Kali pertama dalam hidupku aku menyaksikan seorang Rania yang kokoh seperti baja itu menangis sesengukan. Sendu tangisannya memintaku untuk mengerti dirinya. Desah berat nafasnya meminta pertolonganku atas ini semua.
Aku mendekati Rania sambil memangku Raja yang juga ikut menangis. Dia meronta ingin aku menjauh dari Rania ibunya. Tapi aku tak bergeming. Rasa ibaku pada Rania yang dulu begitu dekat denganku membuatku mengelus rambutnya yang kasar itu.
“Kenapa harus begini, Ta, kenapa? Kenapa aku harus terlahir seperti ini?”
Kalimat pertama yang membungkam mulutku. Aku tahu kalimat itu mewakili penolakan identitasnya sedari kecil. Dia adalah laki-laki, itu yang dia yakini. Tapi kodrat telah membunuhnya untuk menjalani kehidupan selayaknya tubuh yang dia punya. Menikah, melahirkan, membesarkan anak.
“Apa aku salah, Ta? Aku hanya ingin anakku kuat. Aku ingin anakku menjadi seorang jagoan… Jangan sampai dia menyesali hidup seperti aku. Dia harus tumbuh menjadi seorang anak yang bisa dibanggakan dan jadi harapan keluargaku. Tidak seperti aku. Tidak seperti aku, Ta…”
Lagi-lagi mulutku terkunci, ludahku terasa pahit sekarang. Telingku berdenging mendengar serpihan kalimat yang terlontar dari bibirnya yang bergetar.
“Hidupku palsu, Ta. Kamu tahu itu. Kamu tahu, aku tak bisa menjalani hidup seperti kelumrahan selayaknya wanita. Kenapa tuhan menciptakan aku seperti ini? Kenapa aku tak suka melihat boneka di sekitarku? Kenapa aku lebih suka berkejaran menerabas ilalang dan memburu layangan? Apakah ini salahku, Ta? Tolong jawab pertanyaanku, Ta…” dia mengangkat kepalanya. Tatapan sendunya terasa menusuk hatiku. Suaranya Lirih. Tenggorokanku tercekat.
Itulah isi hatinya yang dari dulu ingin dia teriakkan saat dia dipaksa menikah. Dia ingin didengarkan. Dia hanya ingin didengarkan tanpa dihakimi. Itu yang ingin dia katakan pada ayahnya. Tapi ketakutannya atas durhaka membuatnya bungkam, menelan bulat-bulat setiap kata yang ingin meledak.
“Dan sekarang..aku tak tahu harus bagaimana menjalani hidupku ke depan. Aku harus tetap hidup, Ta. Aku ingin tetap melanjutkan hidupku. Jauh dari pandangan sinis orang-orang. Jauh dari omongan di belakang ibu-ibu gendut itu.”
Aku mendesah pelan. Sering kudapati ibu-ibu menggunjingkan Rania saat memberondong tukang sayur yang lewat. Mata mendelik-delik, meracau ini itu menebar berita. Aku hanya bungkam karena tak tahu harus bagaimana karena kenyataan di permukaan terlihat seperti itu.
“Kalau aku masih sahabatmu, tolong aku, Ta. Aku titip Raja padamu. Tolong kamu bilang pada dia nanti, aku pergi bukan karena tak sayang dia. Aku sayang dia, Ta, aku cinta dia. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri, belajar menerima aku apa adanya.”
Aku hanya mengangguk sambil mengusap pundaknya. Raja semakin melolong saat Rania berusaha membelainya.
“Bisikkan padanya sebelum tidur bahwa aku Rania, ibunya…”
*****
Setahun setelah kepergian Rania, Raja menjalani hidupnya di sisiku, menemani hari-hariku yang sering ditinggal suamiku keluar kota. Membuat ramai rumahku yang dulu tampak sepi. Senja menutup siang yang sudah bosan dengan teriknya. Suara adzan terpantul-pantul dari atap ke atap, membahana dari seluruh sudut kampung. Jendela di setiap rumah tertutup rapat dan lampu-lampau neon mulai dinyalakan mengganti peran matahari.
Selepas mengajari Raja mengaji dan membantunya mengerjakan tugas dari TK tempat dia belajar, kami bermain-main dengan mainan pemberian suamiku. Dan sekarang dia harus segera tidur agar dia tumbuh besar. Tapi tumbuh untuk menjadi siapa aku tak tahu. Apakah dia akan tumbuh selayaknya anak laki-laki seusianya atau tumbuh sesuai jiwa yang menghuni raganya. Entahlah, aku hanya mampu memohon campur tangan tuhan atas segalanya.
Kupandangi malaikat kecil yang lucu itu. Dia masih asik dengan boneka beruangnya. Dia makin terlihat manis saat berbicara sendiri dengan bonekanya. Dan sekarang dia menoleh ke arahku.
“Ibu, aku mau tidur dulu ya… tapi tolong ceritakan lagi kisah Puteri Tidur seperti kemarin ya, Bu.”
Aku tersenyum tipis. Lantas ikut berbaring di sampingnya sambil mengusap lembut rambut keemasannya. Aku menceritakan kisah itu, berulang-ulang, diselingi antusias pertanyaannya tentang banyak hal sampai aku kerepotan menjawabnya. Dan akhirnya kututup ceritanya dengan sebuah kecupan di dahinya.
“Raja jangan panggil ibu ya, ingat, ibu Raja namanya Rania…”
Raja merengut, lantas kembali menyunggingkan sebuah senyum indah dari bibir tipisnya. “Iya, ibu Raja namanya Rania, tapi bunda Raja namanya Sagita. Raja sayang Bunda…” katanya sambil menaikkan selimutnya hingga ke dagu.
Dadaku bergemuruh setiap mendengar ucapan sayangnya padaku. Dan entahlah, apa aku sanggup menghadapi saat dimana Rania kembali dan mengambil Rajaku nanti. Apakah aku siap kehilangan harta paling berharga ini?
2 Comments
Komentar FB

2 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete