Sebuah Penyesalan

Kelas 10...

Saat aku duduk di kelas Bahasa Inggris, aku menatap seorang cewek di sebelahku. Ia adalah teman baikku. Aku menatap rambutnya yang panjang, halus, dan berharap ia milikku. Tetapi ia tidak berpikir sama sepertiku, dan aku tahu itu. Setelah sekolah usai, ia berjalan ke arahku dan menanyakan catatannya yang ketinggalan kemarin.

Lalu aku memberikannya padanya. Ia berkata 'terima kasih' dan memberikan ciuman di pipiku. Aku ingin mengatakan padanya, aku ingin ia tahu bahwa aku tidak ingin hanya menjadi temannya, aku mencintainya tetapi aku terlalu malu... aku tidak tahu mengapa.  

Kelas 11...

Telepon berbunyi. Di sisi lain telepon, itu adalah dirinya. Ia menangis, bergumam terus menerus mengenai bagaimana kekasihnya membuat dirinya patah hati. Ia memintaku untuk datang karena ia tidak ingin sendiri, akupun juga begitu. Saat aku duduk di sebelahnya, aku menatap matanya yang lembut, berharap ia milikku. Ia melihatku, mengatakan 'terima kasih' dan memberikan ciuman di pipiku. Aku ingin mengatakannya, aku ingin ia tahu bahwa aku tidak ingin hanya menjadi temannya, aku mencintainya tetapi aku terlalu malu... aku tidak tahu mengapa.
Tahun kedua...

Sehari sebelum festival dansa di universitas, ia berjalan ke locker ku. "Pacarku sakit" katanya, "ia tidak akan datang". Well, aku tidak punya kekasih, dan saat di kelas 7, kita membuat perjanjian bahwa jika tidak ada salah satupun dari kita yang punya pacar, kita akan pergi bersama sebagai teman baik. Dan kitapun melakukannya. Malam itu, setelah semuanya selesai, aku berdiri di depan pintu nya. Aku menatapnya saat ia tersenyum padaku dan menatapku dengan matanya yang bening. Ia berkata "Aku mengalami hari yang menyenangkan, terima kasih" dan memberikan ciuman di pipiku. Aku ingin mengatakan padanya, aku ingin ia tahu bahwa aku tidak ingin hanya menjadi teman, aku mencintainya namun aku terlalu malu... Aku tidak tahu mengapa.

Sehari berlalu, kemudian seminggu, kemudian sebulan ...dan lebih banyak waktu berlalu.

Tanpa kusadari, akhirnya datanglah hari kelulusan. Aku melihatnya naik ke panggung untuk di wisuda. Aku ingin memilikinya namun ia tidak memperhatikan aku seperti itu, dan aku tahu. Sebelum semua orang pulang ke rumah, ia mendatangiku dan menangis saat aku memeluknya. Ia kemudian mengangkat kepalanya dari bahuku dan berkata "kamu teman baikku, terima kasih" dan memberikan ciuman di pipiku. Aku ingin berkata padanya, aku ingin ia tahu bahwa aku tidak ingin hanya menjadi teman, aku mencintainya tetapi aku terlalu malu... Aku tidak tahu mengapa.

Sekarang aku duduk di bangku gereja. Wanita itu akan menikah.. wanita yang aku cintai sepanjang hidupku akan menikah sekarang!!! Aku melihat ia berkata 'aku mau' dan membawa dirinya ke hidup yang baru, menikah dengan pria lain. Aku ingin ia menjadi milikku, tetapi ia tidak melihatku seperti itu, dan aku tahu. Sebelum ia pergi, ia mendatangiku dan berkata 'terima kasih' dan memberikan ciuman di pipiku. Aku ingin berkata padanya, aku ingin tahu bahwa aku tidak ingin hanya menjadi teman, aku mencintainya tetapi aku terlalu malu... Aku tidak tahu mengapa.

Tahun-tahun berlalu...

Aku melihat ke peti mati milik seorang wanita yang dulu pernah menjadi teman baikku. Dalam sebuah upacara keagamaan, mereka membacakan isi buku harian yang pernah ia tulis di saat ia berada di high school. Ia menulis: "Aku menatapnya berharap ia milikku, tetapi ia tidak menyadari aku seperti itu, dan aku tahu itu. Aku ingin berkata padanya, aku tidak ingin hanya menjadi teman, aku mencintainya tetapi aku terlalu malu... Aku tidak tahu mengapa."

'Aku juga berharap seperti itu...' Aku berpikir pada diriku sendiri, dan aku menangis..  I thought to my self, and I cried. 

Sahabat Sejati

Senja yang dulu indah kini menjadi temaram dan bulan yang dulu purnama kini perlahan berubah menjadi sabit. Seperti keadaan hati seorang gadis remaja yang meratapi kekosongan dan kehampaan hatinya karena ditinggal oleh sahabat yang selama ini setia menemaninya baik syka maupun duka. Dulu, waktu usiaku beranjak 17 tahun, aku mempunyai beberapa sahabat salah satunya Icha. Icha tinggal di Ciracas, JakartaTimur. Dia anak pertama dari 2 bersaudara, dia adalah seorang remaja yang lugu dan sangat ceria. Kami bersahabat suddah cukup lama, aku kenal Icha waktu kami sama-sama mendaftar di salah satu SMP favorit di Jakarta. Setelah awal oerkenalan itu,pertemanan kami berlanjut karena kami diterima di SMP itu. Kami selalu bersama-sama bagai amplop dan perangko yang tak dapat terpisahkan, itulah kami. Kami juga selalu satu kelas.

Setelah lulus SMP aku dan Icha memutuskan untuk satu sekolah, hari pertama aku dan Icha menjalani ospek, rasanya takut dan tegang banget, tapi aku melihat seorang cowok yang sangat perfeck di kantin sekolah, dia sangat manis apalagi pada saat aku melihatnya sedang tersenyum pada beberapa orang yang menyapanya, manis sekali senyumnya, disaat aku sedang asyik memperhatikan cowok itu tanpa ku sadari didepanku ada salah seorang kakak senior yang sangat galak, upzzz…. Aku menabrak dia, dia marah-marah padaku meski aku telah minta maaf padanya, lupakan saja dia kita kembali pada cowok yang aku lihat tadi, tapi aku mencari-cari kesekeliling kantin tapi cowok itu udah gak ada. Icha hanya tertawa melihat tingkah lakuku. Huh… ini semua gara-gara keteledoranku, tapi gak apa-apa suatu hari nanti pasti aku dapat bertemu dengannya kembaali karena aku yakin dia siswa di SMA ini. Aku dan Icha melanjutkan perjalanan kami ke kelas. Ospek pertama telah dimulai, ada beberapa kakak senior masuk kekelas tanpa ku sadari cowok yang ku lihat di kantin sekolah tadi pagi ada didepan mataku. Aku senang sekali karena aku kembali beetemu dengannya walau dia tak ku kenal sama sekali.
Aku mencari tau siapa sebenarnya cowok itu, dari beberapa orang yang aku tanya mereka mengatakan dia adalah ketua osis, namanya radit, Cuma itu informasi aku dapatkan tentang dia, tapi udah cukup kok. Singkat cerita aku dan kak Radit mnjedi tambah akrab tapi cuma sebatas teman. Yang tak pernah aku duga ternyata kak Radit naksir sama Icha, aku sedih banget karena dia adalah cinta pertamaku, tapi apa daya aku tak bisa berbuat apa-apa, dan aku juga sempat kecewa pada Icha karena dia menerima kak Radit menjadi kekasihnya, Icha kan tau kalau aku suka sama kak Radit tapi kenapa dia tega padaku. Mungkin inilah nasibku, setelah kejadian itu persahabatan aku dan Icha menjadi renggang, aku jarang menyapanya dan sepertinya juga dia sekarang jarang ada waktu buat kita berdua sanma-sama lagi seperti dulu. Lagi pula aku tak sekelas dengannya.

Waktu terus berputar, tanpa terasa tahunpun berganti. Akhir-akhir ini aku melihat Icha tampak murung dan gak seperti biasanya yang sangat ceria. Walau aku belum bisa memaafkan Icha tapi walau bagaimanapun dia adalah sahabatku dan aku harus tau apa yang sedang terjadi. Satauku dari berita yang beredar kalau Icha mengidap penyakit tumor yang bersarang diperutnya sejak beberapa tahun ini, sejak dokter memfonis penyakit itu Icha berubah menjadi nak yang pemurung danpendiam. Aku sangat merasakan perubahan itu, tapi setiap kali aku tanya dia tak pernah mau cerita dan jujur padaku. Menurutku dia berubah menjadi seperti itu karena mungkin dia merasa hidupnya tak akan lama lagi. Seiring berjalannya waktu perut Icha makin membesar, aku belum percaya dengan apa yang temen-temen bilang padaku. Aku desak Icha untuk menceritakan apa yang terjadi padanya, akhirnya Icha mau bercerita. Aku sempat terkejut mendangarnya sekaligus sedih bercampur dengan rasa kekecewaan, mengapa baru seekarang dia cerita semua itu padaku. Tapi mungkin karena aku tak sedekat dulu sama dia. Aku juga denger-denger dari yang laen Icha putus, Icha diputuskan kak Radit karena keadaan Icha dg perut yang makin membesar. Aku sedih sekali, tapi dia pernah menghianati persahabatan yang telah lama kami bangun.

Icha masih tetap sekolah, tapi lama kelamaan dia merasa kecil hati dan malu. Dengan kondisi tubuh yang semakin menurun, sampai akhirnya Icha dirawat di Rumah sakit Haji Pondok Gede. Aku dan teman-taman menjenguknya untuk memberikan semangat dan dukungan padanya agar Icha gak semakin drop dan putus asa. Hanya sampai disitu saja kabar yang aku dengar tentang Icha, disatu sisi aku masih kecewa padanya tapi disisi lain aku juga mempersiapkan UN.
****

Pagi hari yang sangat gelap karena hujan turun begitu derasnya, aku sedang duduk melamun memikirkan bagaimana keadaan Icha sekarang, tiba-tiba aku dikejutkan dengan ringtone handphoneku yang berbunyi dank u lihat dilayar hpku ternyata mamanya Icha memanggil, fikirku tumben tapi ada apa ya, kok pagi-pagi gini tante telfon aku. “halo assalamu’alaikum, bisa bicara dengan Cika?”, nada suara mama Icha tampak berat, sepertinya dia sedang menangis. “ii…aaa tante, ada apa kokpagi-pagi begini telfon Cika? Trus bagaimana kabar Icha tante?” tanyaku agak ragu, “Icha telah berpulang Ka” belum sempat aku mengucapkan turut berduka cita pada tante, tut…tut…tut…tut telfon tiba-tiba terputus. Aku menangis dan menyesali dengan semua yang terjadi, dihatiku tersirat penyesalan yang amat mendalam, aku terlalu jahat dan egois pada Icha dan gak pernah meluangkan waktu untuk menjenguk sahabatku sendiri yang menjalani hari-hari akhirnya sendirian, tanpa aku. “Maafkan sahabatmu ini Ca…..hik..hik..hik…!!!” tangisku
Aku datang ke rumah Icha untuk melihat dia terakhir kalinya dan mengucapkan bela sungkawa pada keluarga Icha. Setibaku disana aku melihat Icha terbaring kaku, dikelilingi orang-orang yang membaca yasin untuknya, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. “Icha…..” panggilku, “sudahlah Ka, relakanlah kepergian Icha, agar dia tenang di Alam sana” mama Icha ada disampingku, dan memberikan selembar kertas padaku, “ini dari Icha buat kamu, dia menulis pada saat kamu jarang menemuinya, tante tinggal dulu kebawah”. “makasih tante dan Cika minta maaf kalo selama ini Cika gak pernah menjenguk dia, Cika lagi UN tante,” aku menangis. “gak apa-apa kok tante ngerti, kamu ada masalah ya sama Icha?” tanya mama Icha, “eng…enggak kok tante, kami berdua baik-baik saja””ya udah jangan nangis lagi, tante ke bawah bdulu ya” tante pun meninggalkanku sendiri di kamar Icha karena Perlahan-lahan tadi aku pingsan, aku melihat foto-foto yang ada dimeja samping tempat tidur, betapa lembutnya senyum Icha di foto itu. aku buka kertas ituperlahan-lahan, dan aku pun mulai membaca kata demi kata disurat itu.
Sebelumnya gue minta maaf atas kejadian kemaren”, bukan maksud gue untuk merebut kak Radit dari lo, tapi gue juga cinta dia dan gue juga udah putus ma dia, karena dia bukan laki-laki yang baik. O ya, lo tau kan kalo gue gak bisa buat puisi kayak lo, tapi ini puisi gue buat khusus sahabat sejati gue ini, maaf ya kalo buatan gue gak sebagus puisi-puisi lo, heheheh……..


Surat Terakhir
Butir-butiran air mata yang jatuh setetes demi setetes
Menemani dan menjadi saksi saat ku tulis suratku yang terakhir
Jika hanya derita yang harus aku terima
Jika hanya kemitian yang harus ku alami
Aku bersedia menjalani tanpa kesedihan
Namun ketika kau berucap bahwa untukku
Sudah tak ada lagi maaf terasa lemah lunglai tubuh ini
Sahabat yang slalu mengisi hari-hariku
Seberapa besarpun salah yang ku pandang
Seberapa rendah budi yang ku jalani…maafkan aku
Derita karena bersalah berlarut-larut tanpa henti
Dan tampaknya Tuhan sudah berkenan menjemputku
Jangan menangis sahabat….walau tak terkatakan
Sungguh aku merasa kau telah memaafkanku
Slamat tinggal sahabat sejatiku
Ikhlaskanlah kepergiankui
Smoga sepeninggalku dari sisimu
Bahagian akan slalu menemanimu
Miss u sobat
ICHA
****

Keesokan harinya Aku baru sadar ternyata Icha hari ini berulang tahun yang ke 17, aku bermalam di rumah Icha, dan pagi-pagi aku segera kebawah dan akan mengikuti pemakaman Icha. Sebenarrnya aku tak sanggup melihat makam itu, karena akan mengingatkanku akan kenangan” kami berdua dulu, tapi aku coba untuk tegar untuk melangkahkan kaki menuju makamnya. Setelah pemakaman selesai dan semua orang pulang, aku sendiri di makam itu, sepi. Aku menangis disamping nisan Icha, walau tersendat-sendat dan terbata karena aku nangis aku nyanyikan lagu happy birthday buat Icha, dan memandangi nisan yang ada dihadapanku saat ini, makam yang sunyi, aku masih menangis sendiri di makam bisu itu, sebelum pulang aku meninggalkan secarik kertas balasan surat Icha, walau mungkin tak akan pernah dibaca olehnya, tapi itulah kenanganterakhirku buat Icha.

Kenangan indah tentang kita akan slalu ku ingat setiap detiknya
Jika ku tutup mataku, aku masih dapat melihatmu
Kau memperlihatkan senyum termanismu
Tapi itu hanya lamunan sesaatku
Kini kau telah jauh tinggalkanku
Aku belum sempat meminta maaf padamu dan menyayangimu
Dan tak ingin kau pergi jauh
Tinggalkan kenangan kita bersama
Tapi takdir berkatab lain
Terlalu cepat Tuhan memanggilmu
Hanya sebuah puisi ini aku persembahkan untukmu
Kepergianmu, meninggalkan kisah yang sangat pahit bagiku
Aku akan selalu mengenangmu, sahabat terbaikku
Semoga kau tenang disana
Suatu saat kita pasti akan bertemu kembali...

Rizky Ramadhan

Laras

Sahabat

Sahabat.. siapa yang tidak punya sahabat? Kalian pasti punya kan?
Kalau kalian bertanya apakah aku punya sahabat? Ya, aku pun punya.. Aku bersyukur sekali diberikan orang-orang terbaik di sekelilingku yang aku sayangi, keluarga, sahabat, teman, rekan kerja, kenalan..
Terkadang, aku memberikan label kepada setiap orang di sekelilingku. Ada yang aku beri label “Sahabat”.. Menurutku, sahabat adalah tempat aku bisa dengan leluasa menjadi diriku sendiri. Sahabat itu tempat dimana aku bisa mencurahkan segala isi hati, pemikiran dan perasaan, tanpa adanya perasaan canggung ataupun tidak enak. Sahabat bagiku adalah orang terpenting setelah keluarga. Ya, itu sebagian kecil makna sahabat bagiku.
Oke, jadi sebenernya aku nulis ini tuh mau cerita tentang salah satu sahabat aku.. Aku tuh berteman sama dia sejak SD. Pertama kenal pas kelas 4 SD, itupun karena salah satu temanku ada yang suka sama dia, jadi aku dikenalin deh sama dia. Haha.. Gila yah jaman SD udah suka-sukaan gitu.. :p
Singkat cerita, pertemanan kami terus berjalan. Seiring berjalan waktu, makin banyak hal-hal yang kami bagi bersama, mulai dari keluh kesah di keluarga, pertemanan, percintaan, masalah kuliah, musik, hingga apapun yang bisa dibahas mengenai kehidupan dan semua target-target pribadi kita.
Kalau dikalkulasiin, aku berteman sama dia itu udah sekitar 14 tahun.. Lama juga yaah.. haha..
Nah, singkat cerita, aku sama dia itu satu kampus, tapi beda  fakultas.. aku di FIKOM, dia di FISIP.. Dulu, saat kita mau masuk kuliah, aku sempat bilang sama dia “Pokoknya, nanti di Jatinangor, lo ga boleh sombong-sombong sama gw ya mas, sering-sering ketemu, temenin gw, kalo gue minta tolong, jangan sombong-sombong ya”
Eh dia dengan santainya cuma jawab, “Nda, kita gak usah sering-sering ketemu, lo pasti juga bakal sibuk sama temen-temen lo, Nda.. Tapi, ketika salah satu dari kita saling membutuhkan, kita berusaha untuk selalu ada.”
Awalnya aku pikir dia asal ngomong kayak gitu, eh ternyata, sampai 4 tahun kami bareng-bareng di kota terpencil itu, janji itu selalu dipegang. Sebisa mungkin kami menyisihkan waktu ketika salah satu dari kami membutuhkan bantuan, atau sekedar membutuhkan telinga untuk mendengarkan segala cerita.
November 2010, aku lulus dan meninggalkan kota terpencil itu. Sayang sekali, sahabatku itu tidak dapat hadir di hari kelululusanku (wisuda) karena satu dan lain hal *lupa gue gara2 apa*.. Tapi, komunikasi kami tidak pernah putus. Sekedar menegur sapa di jejaring sosial ataupun melalui sms maupun client software chatting lintas provider.. terkadang kami berbagi cerita sekilas..
Tak terasa, setahun lebih kami tak bertemu.. 2 malam yang lalu, sahabatku itu mengucapkan sapa di software percakapan tersebut. Dia mengatakan banyak yang ingin diceritakan kepadaku. Penuh sekali di otaknya hal-hal yang ingin diceritakan kepadaku, jika meminjam istilahnya, “Udah banyak episode kehidupan gue selama setahun lebih ini yang lo lewatin, Nda..”

Dan kalian tahu? Dia selalu punya cara unik untuk menumpahkan apa yang dia pikirkan dan rasakan. Haha.. dan kali ini, caranya adalah dia menuliskan semua yang ada di pikirannya ke dalam sebuah dokumen elektronik. Tahu berapa halaman yang dihasilkan? Dia menuliskan 17 halaman rangkuman kegiatannya selama setahun lebih kami tidak bertemu.. Aku serasa membaca ringkasan novel ketika membaca ceritanya.    
     Antara senang, sedih, terharu, semua campur aduk ketika membacanya. Aku bisa merasakan setiap kalimat pengungkapan emosinya saat dia menuliskan setiap peristiwa. ketika ia marah, ia sedih, ia senang, semua seperti tergambar jelas. Otakku seperti sedang melakukan reka ulang, bagaikan video yang berputar di pikiranku dengan ia sebagai pemeran utama, bercerita secara singkat kejadian selama setahun terakhir.
     Kini, aku yang sedang bingung bagaimana membalas cerita itu. Merangkum kegiatanku selama setahun lebih sejak kali terakhir aku bertemunya? Bisa berapa halaman akan aku tulis? terlalu banyak peristiwa yang aku lalui, hingga aku bingung harus mulai dari mana. Sebenarnya, aku lebih suka bertatap muka, menceritakan semuanya secara langsung. Tapi, susah sekali rasanya mengatur jadwal untuk kami dapat bertemu sekedar menikmati segelas kopi sambil berbagi cerita..
        Kamu, kalau baca tulisan ini, terima kasih.. Karena masih mempercayakan aku sebagai tempat kamu berbagi tentang apa yang kau lalui dalam sebuah masa yang disebut kehidupan. Senang sekali rasanya ketika kau menyebutkan di surat, eh aku boleh menyebut itu surat? haha.. kamu bilang “Entah napa td gw kepikiran pengen cerita ma lo”.. Senang sekali rasanya ketika tahu keberadaan kita dibutuhkan oleh seseorang.

Rizky Ramadhan

Laras

A sad Story love

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki : 

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun.
Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku.
Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy! Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.” Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.


"maaf kalo tulisannya gak ada paragraf,
because this is really my thoughts."

The Litle Kid...

Just It
Cerita ini dipetik dari sebuah buku motivasi bertajuk 'U-Turn ke Jalan Lurus' oleh Zul Ramli M. Razali. Hayatilah sebagai pengajaran untuk kita semua.... 
Perjalanan pulang dari showroom dengan memandu kereta baru memberi satu pengalaman sangat menguja. Bau dalaman dan bungkusan plastik masih ada., sudah cukup menceritakan bahawa impian bertahun-tahun untuk memiliki sebuah kereta hebat telah menjadi kenyataan.
Sesampai di rumah, kereta diparkir di garaj dengan berhati-hati, sudah tentu sedikit calar akan mengguris kegembiraan yang sedang dinikmati kini. Isteri, anak termasuk pembantu rumahnya entah berapa kali berkeliling melihat dari pelbagai sudut dan memuji serta menyebut hal-hal yang sama berulang kali. Anak kecilnya berumur tiga tahun nampak lebih teruja dengan tak habis-habis keluar masuk kereta.
Malam itu, sebelum tidur juga duduk-duduk di tempat pemandu dan melihat lagi keretanya sebelum ke katil. Mungkin tidurnya juga bermimpikan kereta baru dengan warna merelit.
Hari esok, dia bangun penuh ceria, bergegas menghadap sarapan lalu mencapai beg bimbit untuk ke pejabat. Kawan-kawan sudah maklum, dan hari ini: Surprise! Begitu rancangannya.
Tetapi apabila dia menghampiri keretanya ada sesuatu yang sungguh memeranjatkan. Dia mendapati sekeliling keretanya terdapat calar-calar dengan goresan yang ketara. Beberapa saat terpinga dia hanya terpaku berdiri kekejangan. 
Beg bimbit terlepas daripada genggaman kemudian muka terasa panas tersimbah dan kem
arahan membakar dada. Spontan datang dalam mindanya wajah anak kecil yang memang suka menconteng serata dinding. Baru kelmarin dia belikan kotak pensil warna dan kertas lukisan bagi mengatasi tabiat menconteng tersebut.
"Adik, mari sini!" Jeritnya kuat memanggil anaknya, nafasnya tertahan-tahan dalam membuak api kemarahan."Budak ini kena ajar," getus hatinya, berani benar anaknya menggores kereta barunya.
Si anak penuh ketakutan seperti seekor burung ciak yang menggigil dibasahi hujan. Tanpa berlengah bersama arus kemarahan yang sukar dibendung si ayah memukul anaknya di serata badan sambil mulutnya tak sudah-sudah menghamburkan kemarahan. Anak kecil ini hanya meraung dan menangis tetapi dalam hati rasa bersalah atas apa yang dia telah lakukan.
Kemarahan ayah masih belum reda lantas mengambil pembaris besi nipis dan dipegangnya tangan anak. Pembaris tersebut diracik-racikkan ke tangan si anak sambil ayahnya berkata, "Ini ayah nak ajar kamu!"
Ia terus mengherdiknya berulang kali. Kalaulah tidak disabarkan oleh isterinya mungkin jadi lebih teruk lagi anaknya. Anaknya tersepuk dalam dakapan pembantu rumah dengan sedu-sedan serta air mata terurai.
"Mana pensel warna yang ayah belikan semalam?" bentak ayah sambil mencari pensel warna yang baru dibelikan itu. Si ayah merampasnya dan mencampakkannya ke dalam kereta.
Pagi tersebut sangat murung buat anak, sangat perit buat ayah. Ayah masuk ke dalam kereta, menghempas pintu, menekan pedal minyak dan berlalu pergi tanpa menoleh. Ibunya pula hanya punya masa sebentar kerana terpaksa bergegas untuk urusan jauh ke luar daerah.
Tinggallah anak ini dengan air mata berlinangan, sedu, tangis dan kesakitan.
Ayah yang masih marah dan tidak dapat memaafkan anaknya terus menghantar kereta ke bengkel dan dia hanya di luar sepanjang hari. Buat sementara tertutup hati untuk balik ke rumah.
Lewat petang, telefon bimbitnya berbunyi, dengan malas dia mengangkat kerana dia tahu itu panggilan dari rumahnya.
"Bapak, apa saya perlu buat? Adik asyik menangis dan demamnya kuat sekali." Adu pembantu rumah di hujung talian dalam butir bicara keliru.
'Biarkan dia, saya nak ajar dia cukup-cukup!" Dengan marah dia terus mematikan telefon bimbitnya.
Malam itu, ayah tidak pulang ke rumah. Namun ketika lewat malam telefon bimbit berbunyi bertalu-talu daripada nombor yang dia tidak tahu. Dia mengangkatnya. Amat mengejutkan panggilan tersebut dari sebuah hospital meminta dia datang dengan segera. Tanpa berlengah, dia terus ke hospital.
Dia mendapati isterinya turut berada di sana. Pembantu rumah yang bergegas membawa anak ini ke hospital juga turut bersama dengan wajah sugul bercampur rasa bersalah. Dia terus meluru masuk berjumpa doktor bagi mengetahui kondisi anaknya. Alangkah pilunya apabila ia diminta menandatangani akuan bagi melakukan pembedahan bagi memotong pergelangan tangan anaknya..
"Seluruh sarafnya telah rosak dan bakteria telah masuk ke dalam sum-sum tulang, kami tidak ada pilihan melainkan terpaksa memotongnya untuk menyelamatkan nyawa anak ini." Jelas doktor dengan gambar x-ray dan analisis lain penuh di atas meja. Dengan hati yang berat dia menurunkan tandatangannya.
"Hari malang apakah ini..." tangis hatinya dengan rasa sesal yang tidak dapat dibendung mengenang nasib anaknya.
Si ayah melihat dengan penuh simpati pada wajah comel anaknya yang telah terbaring setelah melalui pembedahan yang panjang. Dia tidak pasti apa perasaan sepatutnya ketika itu. Berulang-alik rasa bersalah, kasihankan si kecil, bodohnya tindakan, menyesal, simpati dan semuanya tidak jelas tapi satu yang jelas ialah tangan anaknya telah kudung.
Apabila si anak sedar, dia melihat ayah dan ibunya berada di sisi. Dia menangis sambil memohon kemaafan.
"Ayah... Maafkan adik, adik janji tidak akan gores kereta ayah lagi."
"Ayah tolong pulangkan pensel warna adik ... Adik nak melukis," rayu anak kecil itu dalam esakan meninggi mengemis simpati ayahnya.
Kelu lidah ayahnya, hanya air mata hangat mengalir dan di dalam dada sarat tergumpal rasa sesal. Dia hanya mampu menatap wajah anaknya yang masih menangis.
Tapi kemudian apabila anak ini tersedar tentang tangannya yang kudung, saat itu dia berkata dalam kesayuan, "Ayah, tangan adik dah tak ada, adik dah tak boleh melukis lagi, kalau adik dah besar nanti macamana nak jaga ayah..macamana adik nak mandikan ayah. Tangan adik dah tak ada lagi...Ayah, pulangkan tangan adik."
Tangisan adik terlalu kuat, sangat menyayat hati. Ayah hanya mampu menangis semahu-mahunya. Apakah yang mampu dia perbetulkan kini? Dia merangkul anaknya dengan pandangan kosong melihat anak bersama cita-citanya yang berkecai dan berderai.
Marilah kita meneroka ke dalam hati si ayah dan bertanya terus kepada keyakinannya:
"Bukankah anak ini harta yang paling berharga?"
Ya
"Bukankah anak permata hati?"
Benar.
"Bukankah anak ini ditunggu sejak kelahirannya, digomol penuh manja masa kecilnya, apabila berjauhan anda merinduinya, dia memanggil ayah dan menjadikan hidup anda bahagia?"
Benar, benar dan benar.
"Kalau begitu, samakah nilainya dengan warna kereta baru anda?
Tidak sama sekali.
"Jadi, kenapa anda sanggup memusnahkan cita-citanya dengan amarahmu itu?"
Errr.. (tiada jawapan).
Sampai di sini kita sedar ada perselisihan ketara antara keyakinannya dengan apa yang dia buat. Dia mungkin tidak dapai mencari jawapan kenapa, tetapi telah mengetahui akibatnya.
Justeru itu bagi kita, sekiranya keyakinan tidak dapat memperkuat amal, tambahkan satu lagi kayakinan bahawa:
Kebinasaan pasti menunggu mereka yang gagal beramal mengikut keyakinannya!
"May our songs be true to what we see on the horizon."

Kisah Tentang Ayah

Sosok dia yang terkadang kita lupakan, penuh kasih sayang dan pengorbanan untuk kita. Dia memiliki hati yang lembut tapi selalu terlihat sangat kuat didepan kita. Dia adalah “AYAH”

Kadang dalam sebuah keluarga, kita sebagai anak selalu lebih dekat dengan ibu bahkan kakak atau adik,dibanding ayah. Taukah sebenarnya gimana ayah kita dibalik sikap tegasnya?

Nyanyian Malam

destroyed-myspace-sad-aloneBulan yang kini terang, sebersit waktu yang akan datang menjelma bagai gumpalan awan hitam. Yang tak sedikitpun cahaya terangnya menerobos masuk ke celah jendela yang sempit dan pantulan bening pun tak mnyerap sinarnya.
Kelitikan angin malam, menjalar ke setiap epidermis kulit yang tipis dan menghantam tulang muda bagai ombak pantai yang sedang tidak bersahabat. Di malam yang sesunyi ini, ia mendengar lagi nyanyian itu. Nyanyian merdu dari mulut bidadari malam. Nyanyian yang senantiasa merombak sedikit bunga tidur dan membiarkannya mengiringi setiap detik di malam gelap.
Malam ini, malam lalu, dan malam-malam selanjutnya pun tak akn pernah diam. Sebelum malam tak dapat lag datang.
***

Sahabat Terbaik


Cerpen Sedih Tentang Persahabatan"Persahabatan bukan hanya sekedar kata,
yang ditulis pada sehelai kertas tak bermakna,
tapi persahabatan merupakan sebuah ikatan suci,
yang ditoreh diatas dua hati,
ditulis dengan tinta kasih sayang,
dan suatu saat akan dihapus dengan tetesan darah dan mungkin nyawa"..

**
“Key… sini dech cepetan, aku ada sesuatu buat kamu”, panggil Nayra suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich?, kamu kan tau aku gak bisa melihat”, jawab seorang gadis yang dipanggil Key dari balik pintu.

Dad, why I was different...


" senja basah tinggikan mimpiku, jangan bergegas awan kelabu, biarkan matahari tetap bersembuyi dalam sayapmu, karena aku ingin menjadi diriku, tunggu sampai aku puas menangis tanpa harus berpura-pura kuat, karena senyum itu adalah tipu dayaku.

aku seorang wanita berumur 20 tahun, dengan tinggi badan 173 dan berat 80, siapapun yang melihatku mereka akan tertawa, merendahkan, dan melupakan adanya hatiku, aku anak pertama dari 3 bersaudara, ayahku meninggal sedari aku lahir, aku belum sempat melihat wajahnya, di peluk olehnya, di cium olehnya, apalagi untuk mengenalnya lebih jauh, aku hanya mendapatkan cerita seadanya tentang dia, bukan dari ibu, nenek, kakek,

Don't Leave...

karna dia beniat untuk minta maaf soal kemaren sama afa. Di cobanya tadi malam nomernya afa disms, di tlp berkali-kali tidak aktif dan tidak bisa di hubungin sama sekali.
          “bella…” panggil dina sahabatnya
          “iya din.”
          “tumben amat udah dateng ? biasanya pas bel ataupun sesudah bel lo baru dateng? Hahaha.” Ejek dina pada bella sahabatnya
          ‘’iya din…”
          “lo kenapa sih? Gue salah ngomong ya? Kok murung gitu sih say?” Tanya dina menyelidiki
          “iya, lo liat afa gak? Kok jam segini dia belom dateng?”
          “afa? Gue gak liat. Bukannya dia mau pindah ya ke solo? jadi dia