Hari Ulang Tahun

Aku adalah saksi penting dalam sebuah persahabatan yang berakhir dengan sebuah tragedi. Segala rasa percaya, dan kasih sayang yang terjalin selama bertahun-tahun hancur berkeping-keping hanya dengan kesalahpahaman dan pengkhianatan. Kisah tragis ini menimpa sahabat baikku yang benam
a Vania. Dia adalah gadis yang cantik, ramah, baik, dan juga sopan. Rambutnya panjang dengan kulit putih, menambah keanggunannya sebagai putri seorang bangsawan. Dari luar dia adalah gadis yang sempurna, dengan kekayaan melimpah dan wajah yang cantik. Aku kenal Vania sejak dia berusia 5 tahun. Kami selalu bersama, kemanapun Vania pergi dia pasti akan mengajakku ikut serta. Vania selalu menceritakan semua yang dialaminya padaku. Dia banyak bercerita tentang perasaannya, rasa senang, sedih, kesepian dan rasa kecewanya yang teramat besar kepada kedua orang tuanya. Biasanya dia menceritakanya saat akan berangkat tidur.Vania hidup dalam keluarga yang berkecukupan, ayahnya seorang pengusaha sukses di bidang tekstil yang baru-baru ini mulai merambah dalam dunia politik dalam negeri. Nama Budi Wardhana Kusuma sudah melambung hingga luar negri dalam dunia perindustrian. Rossy Wati Kusuma pemilik butik terbesar di Indonesia juga tak kalah terkenalnya dengan nama suaminya. Kedua orang pengusaha ini bergerak dalam bidang yang sama dan meraih sukses yang sama pula. Nama mereka sudah terkenal dimana-mana, hingga ke mancanegara. Namun ketenaran mereka membawa duka yang sangat mendalam buat Vania. Walau ia mempunyai ayah dan ibu dan harta yang melimpah namun ia merasa kesepian. Dengan titel pengusaha besar, layak jika Pak Budi dan Bu Rossy adalah orang yang sibuk bahkan sering berpergian ke luar negri. Dengan kegiatan yang super sibuk itu mereka jarang pulang ke rumah, paling hanya menelepon untuk memastikan Vania baik-baik saja.Vania lebih sering ditinggal di rumah sendiri dengan Bi Inah. Bi Inalah yang mengurusi segala keperluan Vania. Walau untuk pertama kali Vania merasa sangat kesepian, namun sejak ada aku, ia mulai bisa menerima keadaan. Ia tak pernah menanyakan tentang orang tuanya lagi, juga tak pernah mengharapkannya kembali. Rupanya Vania sudah terbiasa tanpa kehadiran kedua orang tuanya itu. Segala hal ia lakukan sendiri meskipun sebenarnya Bi Inah akan bersedia membantunya. Dan rupanya itu berguna juga, karena Vania tumbuh jadi gadis yang mandiri, bukan gadis manja seperti pada umumnya. Namun karena terbiasa sendiri, di sekolahpun ia jarang mempunyai teman. Satu-satunya yang ia percaya untuk mendengarkan ceritanya hanyalah aku. Ia hampir menceritakan semuanya padaku, meski kejadian sekecil apapun. Ia banyak bercerita tentang dirinya di sekolah dan teman-temannya.Aku masih ingat dengan jelas saat ia bercerita tentang ketika dia masih di bangku Sekolah Dasar kelas 2, dia pernah tidak mengerjakan PR dan di suruh berdiri di depan kelas. Dia sangat malu saat itu, bagaimana tidak saat itu terkenal sebagai murid yang pandai dan selalu menjadi juara kelas. Untung saja ia masih bisa mempertahankan prestasinya meskipun pernah tidak mengerjakan PR, karena ia sangat takut tak naik kelas karena pernah tak mengerjakan PR. Bukan karena apa-apa, untuk menghilangkan rasa sepinya itu Vania menggunakannya untuk belajar dan menjadi anak yang pandai agar ia tidak dibenci oleh teman-temannya. Dan saat dia kelas 3 SD dia pernah mendapat nilai nol dalam ujian harian. Sungguh aneh jika seorang Vania bisa mendapat nilai nol, tapi tenyata Vania mendapatkannya. Menurutnya saat itu Vania tidak tahu akan adanya ulangan harian sehingga ia tidak mempunyai persiapan untuk belajar. Namun anak sepandai Vania tak mungkin begitu saja mendapat ilai nol, aku yakin ada sesuatu yang disembunyikannya saat itu. Hingga akhirnya ia menceritakannya padaku alasannya, kedua orang tuanya. Mereka melupakan hari ulang tahun Vania. Padahal meskipun sesibuk apapun mereka pasti ingat, walau hanya sekedar menelepon dan mengirimkan hadiah. Vania sungguh marah kepada keduannya dan menghabiskan waktu bermain PS di kamar loteng yang sudah tak terpakai lagi. Hari ulang tahun memang yang selalu dinantikan Vania, karena pada saat itu ayah dan ibunya terkadang pulang untuk mengucapkan selamat atau memberinya hadiah, walau hanya sekedar telepon tapi Vania sangat senang. Semuanya diceritakannya padaku. Hingga saat dia kelas 4 SD ada anak baru di sekolahnya namanya Sonia. Saat itulah Vania menemukan seseorang yang bisa memahaminya. Sonia sangat baik pada Vania hingga akhirnya mereka berdua bersahabat. Vania menganggap Sonia lebih dari sekedar sahabat, Sonia sudah menjadi bagian dari hidupnya.Saat kelas 6 SD Vania menemukan cinta pertamanya. Nama anak itu Tedy. Sudah ratusan kali Sonia menyuruh Vania untuk mengatakan perasaannya pada Tedy, tapi Vania tak mau. Vania lebih suka memendam perasaannya dan memandanginya dari jauh. Saat Sonia menanyakan alasan Vania tak mau bilang, Vania hanya menjawab kalau hubungan sebagai teman akan lebih baik daripada sebagai pacar atau kekasih. Sejak mendengar alasan Vania, Sonia tidak lagi memaksa Vania untuk menyatakan perasaannya pada Tedy. Tapi Sonia akan senang sekali kalau seandainya Vania mau menyatakan perasaannya.Hingga lulus SD, Vania tidak mengubah pendirianya. Vania masih belum mau bicara pada Tedy. Padahal setelah lulus nanti Tedy akan pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan sekolah di sana. Sonia sudah memperingatkan Vania untuk tidak menyesal kalau tidak dapat bertemu lagi. Tapi pendirian Vania tetap kokoh, hingga Tedy berangkat ke Yogyakarta Vania tetap diam. Sonia hanya diam sambil menggeleng-geleng kepala, dia tahu perasaan Vania dan karena itu dia tidak perlu membeberkan perasaan Vania yang sesungguhnya pada Tedy.Waktu di SMP Vania dan Sonia tetap satu sekolah. Walaupun berbeda kelas, tapi itu tidak menjadi tembok bagi mereka untuk saling berkomunikasi. Di kelas 2 SMP, Vania satu kelas dengan Sonia dan saat itu Sonia jatuh cinta pada teman sekelas mereka yang bernama Alvin. Vania tahu perasaan Sonia dan karena itu Vania akan berusaha agar Sonia dan Alvin bisa jadian.Saat liburan semester kelas Vania mengadakan liburan ke Villa Albert yang terletak di tengah gunung. Sonia dan Alvin juga ikut, Vania sangat senang sekali. Dengan penuh semangat ia pergi, tapi dia tak mengajakku mungkin dia malu tapi aku bisa tenang karena Sonia ada bersamanya. Saat pulang dari villa dia juga senang, karena Alvin nembak Sonia di sana. Vania kegirangan dan langsung memelukku, dia juga menceritakan semua yang dialaminya secara detil padaku. Tak segan dia mengulang cerita yang sama. Aku senang, akhirnya Vania bisa seceria ini. Aku salut pada Sonia, dia benar-benar merubah hidup Vania. Seandainya aku bisa aku ingin berterima kasih pada Sonia. Tapi sudalah itu tidak penting, yang penting sekarang aku bisa melihat senyum Vania yang begitu tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam.Vania pernah bilang padaku kalau selama di SMP ini, di sangat senang sekali. Bisa melihat Sonia menemukan cinta yang ia cari selama ini. Vania juga sering cerita kalau dia sangat kagum pada Sonia. Baginya Sonia sudah seperti belahan jiwanya, sifat Sonia yang berani, penuh semangat dan menganggap semua masalah sebagai tantangan. Ingin sekali Vania punya sifat seperti itu tapi melihat Sonia seperti itu saja sudah cukup buat Vania.Setelah beberapa tahun bersama, Vania dan Sonia sudah seperti satu tubuh. Saling mendukung dan membangun. Baru kali ini aku melihat persahabatan dua manusia yang begitu sempurna. Tapi tak ada yang abadi di dunia ini. Saat keduanya beranjak SMU, mereka harus berpisah. Sonia mendapat kabar dari ibunya di Bandung, kalau ayahnya sakit dan ingin ditemani Sonia. Jadi, terpaksa Sonia harus pindah ke Bandung dan meneruskan sekolah di sana. Sebenarnya Vania tak mau Sonia pergi, tapi Vania tahu kalau Sonia sangat menyayangi kedua orang tuanya dan dengan berat hati Vania melepas kepergian sahabatnya.Sejak kepindahan Sonia, Vania jadi murung lagi. Dia merasa sedikit demi sedikit bagian dari jiwanya hilang. Setiap malam Vania selalu menangis dan bergumam “ aku kangen ama Sonia “. Walaupun sering bicara di telepon, tulis surat, SMS atau apalah upaya Vania untuk dapat berkomunikasi. Tetap saja Vania merasa kehilangan. Aku jadi sedih melihat Vania seperti ini lagi.Karena terus memikirkan Sonia, Vania jadi jatuh sakit. Ibu Rossy langsung pulang ke Surabaya karena mendengar Vania sakit. Tapi kedatangan sang ibu tidak mengubah apapun pada diri Vania. Malah bisa jadi penambah beban di hati Vania. Dalam kesedihannya Vania bercerita padaku kalau sebenarnya dia benci kepada kedua orang tuanya. Kehadiran ibunya di sini, membuat Vania tak nyaman. Setiap Hp atau telepon yang bedering, pasti telepon dari rekan bisnis ibunya dan selalu sibuk membicarakan soal bisnis. Aku pernah dengar Vania mengatakan kalau tidak ada gunanya ibunya datang untuk menjenguk, kalau yang diajak dan yang dibicarakan hanya masalah bisnis. Lebih baik ibunya tinggal di Bandung saja, itu lebih baik.Tak lama setelah ibu Kusuma datang, ayah Vania juga pulang ke Surabaya. Vania semkin tidak betah di rumah, walaupun belum sembuh benar Vania memaksa pergi ke sekolah untuk menghindari kepindahan kantor ke rumahnya. Di sekolah Vania tidak seceria dulu, dia lebih banyak melamun daripada berkenalan dengan teman barunya di sekolahnya yang baru. Satu-satunya yang berani mengajak Vania mengobrol adalah Alvin yang juga satu sekolah dengan Vania. Alvin memang perhatian pada Vania, tapi tetap saja Vania tidak bisa melupakan Sonia. Apalagi belakangan ini Sonia jarang menghubunginya seperti dulu. Surat dan SMS yang Vania kirim juga tidak pernah di balas. Vania semakin mudah gelisah, yang ia pikirkan hanya Sonia. Vania pun tak tertarik ketika ayahnya bilang kalau dia sedang menjalankan proyek baru. Ayah Vania akan mendirikan cabang perusahaannya yang ada di Paris di Indonesia tepatnya di Bandung. Karena itu ayah pulang ke Indonesia.Dugaan Vania tepat, kalau ayahnya pulang bukan karena khawatir padanya tapi karena masalah bisnis. Vania sering menangis sendirian di kamarnya, sambil memelukku dan menceritakan semua yang ia rasakan padaku. Aku kasihan pada Vania seharusnya dia bisa jadi gadis yang sempurna. Kebaikan hati dan kekayaan yang ia miliki sudah cukup menjadikanya seorang gadis yang dikagumi oleh semua orang. Tapi dia tidak memiliki kasih sayang dari orang tuanya. Satu-satunya orang yang menyayanginya telah pergi meninggalkanya sendiri. Kini Vania benar-benar kesepian, ia tak punya lagi seseorang yang mendukungnya.Keadaan Vania semakin tak karu-karuan, ia benar-benar kacau. Alvin sudah mencoba berbagai cara untuk menghibur Vania, tapi Vania tak berubah sama sekali. Sonia semakin tak memberi kabar sedikitpun. Saat itu ada kejadian yang tidak pernah aku bayangkan sebelumya. Alvin yang belum putus dengan Sonia menyatakan cinta pada Vania. Bagai tersambar petir saat Vania mendengarnya dari mulut Alvin. Saat itu juga Vania teringat pada Sonia sebagian dari jiwanya terasa akan menghancurkan hidupnya. Tanpa berkata apapapun, Vania meninggalkan Alvin. Alvin tahu Vania pasti tak akan pernah menerimanya karena Vania tidak mungkin akan mengkhianati Sonia. Tapi Sonia tak memberi kabar sedikitpun baik pada Vania sahabatnya sendiri atau pada Alvin pacarnya. Sebenarnya apa yang terjadi pada Sonia?Malam itu adalah jawaban dari semua pertanyaan. Malam itu Vania belum bisa tidur ia masih memikirkan Sonia. Walaupun tidak memberi jawaban apapun pada Alvin tapi Vania tetap merasa ia telah mengkhianati Sonia. Sebagian dari jiwanya selalu bertentangan dengan apa yang ia pikirkan. Sepertinya Vania tak mampu menahan semua ini sendiri. Lamunan Vania terganggu karena bunyi bising di luar kamarnya, kali ini bukan bukan bunyi orang yang sedang mengobrol tapi suara gaduh. Vania tak peduli dengan semua itu, ia pikir itu suara rekan bisnis ayahnya yang baru datang. Dugaan Vania meleset suara yang terdengar selanjutnya bukanlah suara gelek tawa seperti biasanya melainkan suara jeritan. Vania terkejut sekali karena itu adalah suara jeritan ibunya. Kali ini Vania tak bisa diam begitu saja, bagaimanapun dia tetap ibu Vania. Dengan hati-hati Vania keluar kamar dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.Vania terpaku melihat keadaan sebenarnya, ayahnya yang tergeletak di lantai dengan genangan darah di sekelilingnya dan tak jauh dari tempat ayahnya terdapat ibunya dengan keadaan yang sama. Vania tak dapat bergerak, keringat dingin membasahi tubuhnya. Vania sangat takut saat melihat orang yang berpakaian serba hitam ada di antara mayat kedua orang tuanya. Orang itu hanya sendiri tapi dia sudah membunuh dua orang. Walau sedikit takut tapi Vania berusaha bergerak, ia melangkah mundur menuju kamarnya. Dia mengajakku bersamanya bersembunyi di dalam lemari pakaiannya. Vania memegangku dengan erat, mulutnya komat-kamit membaca doa. Terasa sekali olehku kalau Vania sangat ketakutan.Orang bertopeng itu menuju kamar Vania, malam yang sepi membuat langkah orang itu terdengar sangat keras. Pelukan Vania semakin erat ketika ada bayangan orang itu di depan almari. Dia mengamati kamar itu dengan seksama lalu perlahan meninggalkan kamar. Tapi langkahnya terdengar lagi masuk kembali ke kamar dan kali ini dia ada di depan almari dan siap untuk membuka pintu almari itu. Vania hanya diam, pasrah selain itu ada keinginanya untuk tetap diam jika ia ingin tahu semua kebanaran yang ia cari selama ini. Saat mata mereka beradu samar-samar terlihat ada senyum di wajah orang bertopeng itu. Matanya yang tajam menatap Vania dingin dan ia berkata pelan “ Hai, Van !”Sebagian jiwanya bergejolak, serasa organ tubuhnya berhanti untuk sedetik. Vania sangat mengenali suara ini, suara yang ia rindukan dan ia nantikan untuk mendengarnya kembali. Orang itu pelan-pelan membuka topengnya dan dari balik topeng itu terdapat wajah seseorang yang ia rindukan dan ia harapkan untuk melihatnya lagi. Siapa lagi orang yang sangat dirindukan oleh Vania kalau bukan Sonia. Vania tak percaya dengan apa yang dilihatnya, jika yang ada di depanya adalah Sonia berarti yang membunuh kedua orang tuanya adalah Sonia, tapi kenapa harus Sonia.“Hai sahabatku !” kalimat pertama yang dari ucapkan Sonia saat itu “jika kau tidur terlalu malam tak baik untuk kesehatanmu, dulu aku sering bilang begitu kan ?”“Ada apa denganmu Sonia? Apa yang terjadi?” Vania beranikan diri untuk bertanya pada sahabatnya.“Apa perlu aku jelaskan perbuatan orang tuamu yang gila harta?” nada suara Sonia sungguh tidak bersahabat.“Apa kau bilang? Aku tak mengerti maksudmu?” firasat Vania buruk.“Baiklah aku ceritakan dari awal dengarkan baik-baik!” Sonia duduk di tempat tidur Vania “ayahku sebulan yang lalu meninggal, dan ibuku menyusul seminggu kemudian. Ayah sakit keras karena rumah kami satu-satunya di Bandung akan di gusur untuk didirikan sebuah cabang perusahaan. Karena terlalu lama tidak masuk kerja, ayah jadi di PHK dan ganti rugi rumah kami tidak cukup untuk mendirikan rumah lagi. Sakit ayah bertambah parah hingga akhirnya sebulan yang lalu ia mengakhiri penderitaannya. Saat itu aku sedih sekali, ibu syok karena ayah meninggal dan akhirnya ibu menyusul ayah.”“Karena alasan itu kau membunuh keluargaku?” Vania rela jika memang alasan Sonia itu, karena ia tak mau melihat Sonia sedih. “Bukan karena hal yang sepele itu tapi ada hal lain yang membuatku sakit sekali.” Sonia menghabiskan dulu air matanya lalu bercerita lagi “saat itu aku ingin sekali bertemu denganmu Van, aku ingin kau ada di sampingku dan menghiburku. Tapi aku tak tahu bagaimana aku bisa menghubungimu, kau ada di Surabaya sedangkan aku ada di Bandung. Surat dan teleponmu tak pernah nyambung karena rumahku sudah tak ada lagi. Aku ingin menghubungimu tapi aku tak punya uang untuk itu.” Vania menangis mendengar cerita Sonia ingin sekali ia ada di sana waktu itu.“Aku kembali ke rumah yang sudah dirobohkan setelah tak berhasil menghubungimu dan kau tahu siapa yang ku lihat di sana?” Sonia diam sejenak “aku melihat ayahmu. Tadinya aku senang melihat ayahmu karena ku pikir dia bisa membawaku padamu tapi setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi aku jadi membenci ayahmu!”“Memang apa yang terjadi di sana?” Vania ingin tahu “Ternyata dalang penggusuran itu adalah ayahmu!” berakhir sudah semua. Sonia tak mungkin lagi memaafkan Vania dan Vania benar-benar terkejut mendengar perkataan Sonia “kau tahu apa yang kurasakan saat itu? Jiwaku seakan bergejolak dan tidak sejalan dengan apa yang ingin aku lakukan. Ayah sahabatku, belahan jiwaku berani menusukku dengan cara seperti ini” Sonia membelakangi Vania tampak olehku kalau dia menangis.Vania tak berkata apa-apa, ia sangat terpukul dengan apa yang telah dilakukan ayahnya. Begitu tenangnya ketika ayahnya menceritakan tentang proyek itu pada Vania. Padahal karena proyek itu Vania telah kehilangan sebagian dari hidupnya. Vania sangat malu pada Sonia, Vania tak menyangka ia punya orang tua seperti itu.“Aku juga sudah tahu kalau Alvin menyatakan cinta padamu” kini nada suara Sonia berubah lunak “aku tahu sebenarnya yang dia cintai bukan aku tapi kamu. Maaf Van, aku sudah membunuh kedua orang tuamu. Kita sudah tak dapat hidup berdampingan lagi seperti dulu, aku sudah tak punya gairah hidup karena kau tak ada. Aku harap kau tidak pernah punya teman pembunuh seperti aku. Kau tak salah apa-apa, biarlah aku saja yang menanggung semua penderitaan ini sendiri. Selamat tinggal Vania!” Begitu mudahnya Sonia bicara, padahal ia tak tahu kalau Vania juga merasa hal yang sama dan tak mampu hidup tanpa Sonia. Tanpa Sonia sadari Vania tak dapat hidup lagi di dunia ini, mereka sudah seperti satu tubuh jika mereka berpisah maka mereka tak dapat hidup seperti orang biasa. Kenyataan ini begitu pahit bagi Vania. Sedangkan aku hanya bisa duduk dan menonton semua kejadian ini. Tak lama kemudian tedengar kabar bahwa ada seorang gadis bunuh diri dengan terjun ke laut dan setelah mayatnya diketemukan ternyata itu adalah Sonia.Hingga sekarang belum ada yang tahu penyebab atau motif pembunuhan keluarga Kusuma. Hanya aku yang tahu semua kejadian yang menimpa keluarga Kusuma tapi mereka tak bisa tanya padaku. Karena aku hanya bisa duduk, melihat dan mendengar. Teman sejati Vania yang selalu menemaninya saat tidur. Aku hanya sebuah boneka kesayangan Vania.

0 comments:

Post a Comment