After Kojai....
****
Satu persatu kesedihan menyusul sejak kepergian Kojai. Ternyata Kojai tak sendiri. Kojai memang tak sendiri. Seperti yang telah dikisahkan sebelumnya. Kojai terkena virus HIV/AIDS karena pemakaian putauw dengan jarum suntik bergantian dengan teman-teman satu kompleknya kala dia masih duduk di bangku SMA.
Satu persatu kesedihan menyusul sejak kepergian Kojai. Ternyata Kojai tak sendiri. Kojai memang tak sendiri. Seperti yang telah dikisahkan sebelumnya. Kojai terkena virus HIV/AIDS karena pemakaian putauw dengan jarum suntik bergantian dengan teman-teman satu kompleknya kala dia masih duduk di bangku SMA.
Kudengar kabar, beberapa tahun sebelum
tiba-tiba kondisi Kojai menurun terus karena kekebalan tubuhnya yang
telah habis, ternyata aku ketahui dari kakak Kojai, bahwa ada tiga orang
teman Kojai yang mendahului Kojai menutup usia. Dan dahsyatnya penyakit
yang mereka alami sama persis dengan yang Kojai alami.
Kala itu terjadi, Kojai masih
menyelesaikan kuliah di kota Yogyakarta. Kota yang sama dengan kuliahku.
Kala itu pula Kojai hanya mendengar kabar itu sepintas lalu dari
keluarganya, karena Kojai berada di kota yang berbeda dengan
keluarganya. Karena pengetahuan yang masih sangat minim tentang gejala
penyakit HIV/AIDS, Kojai tak menyadari apa penyebab dari kematian ketiga
temannya itu. Setelah Kojai pergi menyusul ketiga temannya itu, barulah
keluarga Kojai menyadari betapa kejamnya virus HIV/AIDS itu.
Kabar mengejutkan kudengar dari keluarga
Kojai, setelah tiga bulan Kojai meninggal, salah seorang sahabat Kojai,
Kubil, teman sepermainan Kojai di Komplek kala Kojai masih SMA,
meninggal dengan proses sakit yang sama. Hanya saja kubil tak harus
mengalami waktu yang lama seperti Kojai alami. Hanya kurang lebih satu
bulan Kubil mengalami sakit dan akhirnya dia meninggal.
Bagaikan persahabatan yang sejati dan
abadi, empat sekawan itu pun meninggal dunia dengan penyakit yang sama,
penyakit yang mereka tak sadari dari mana asalnya dan bagaimana
akibatnya.
Hampir dua tahun Kojai meninggalkan
kami, di pertengahan bulan Juni 2008, tak disangka kepergian Kojai pun
disusul lagi oleh kematian sahabat sejatinya satu komplek, Tris. Memang
sebelum Kojai menutup usia, dia pernah bercerita pada kami, dengan siapa
saja kala SMA dia menggunakan serbuk putih terlarang itu. Salah satu
nama yang disebutkan sangat familiar sekali di telingaku. Tris memang
sahabat dari kecil Kojai. Bisa dikatakan dimana ada Tris, dapat
dipastikan disitu pula ada Kojai.
Usia Tris setahun lebih tua dari Kojai.
Kojai pun menganggap Tris sebagai sahabat sekaligus kakak. Namun sangat
disayangkan, kakak yang dijadikan panutan malah menjerumuskan Kojai ke
dalam jalan menuju kematian.
Aku ingat ketika Kojai terbaring tak
berdaya di RS. Bayukarta Karawang, beberapa teman komplek Kojai datang
menjenguknya. Salah satu dari teman itu adalah Tris. Namun entah apa
yang dibisikkan Kojai ke telinga Tris, hingga sepertinya perlahan-lahan
Tris bergerak mundur dan sedikit menjauhi Kojai. Belakangan ku ketahui
dari salah seorang teman Kojai, bisikan itu berbunyi, “Tris, badanku
rasanya lemas banget, sepertinya organ dalamku telah hancur semua”. Tak
disangka karena bisikan itulah, Tris mulai menghindari Kojai.
Setelah Kojai meninggal dunia, terdengar
kabar bahwa Tris mulai sakit-sakitan. Meskipun terkesan keluarga Tris
menutup rapat tentang apa sebenarnya penyakit Tris, namun karena
keluarga Kojai telah lebih berpengalaman menghadapi gejala-gejala
penyakit HIV/AIDS, rasanya sudah bisa ditebak apa sebenarnya penyakit
Tris. Karena dilihat dari gejalanya, sakit yang dialami Tris sangat
mirip dengan yang pernah dialami Kojai.
Mungkin kejadian yang dialami Kojai
adalah pelajaran yang sangat berharga bagi keluarga Tris. Hikmah baik
yang dapat diambil bagi keluarga Tris adalah keluarga Tris menjadi lebih
sigap dan cepat dalam mengobati Tris. Dalam kurun waktu hampir dua
tahun, secara intensif keluarga Tris membawa dia untuk selalu chek up ke
RS. Dharmais, Jakarta. Dan dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun
itulah kondisi kesehatan Tris bagaikan sebuah yoyo.
Kurang lebih satu bulan Tris dirawat di
RS. Dharmais Jakarta, Tris pun kembali ke Karawang. Terlihat kondisi
Tris sudah mulai membaik. Badannya menjadi agak gemuk dan dia pun mulai
berjalan-jalan keluar rumahnya. Suatu ketika pernah dia terlihat begitu
lahapnya menyantap siomay didepan rumahnya ditemani oleh istri
tercintanya.
Kala itu kulihat betapa bahagianya
mereka. Kebahagiaan yang tak dapat kurasakan dengan Kojai. Sejujurnya
dalam hati kecilku sedikit kecewa. Bukan kecewa karena melihat
kebahagiaan mereka. Tetapi aku kecewa akan keadilan Tuhan. Mengapa Tris
bisa sembuh sedangkan Kojai tidak? Padahal mereka sama-sama pernah
mengalami kondisi yang sama. Tapi ternyata aku salah besar. Bagaikan
sebuah yoyo tadi, kondisi baik Tris pun tak berlangsung lama.
Berangsur-angsur kondisi Tris mengalami penurunan hingga akhirnya Tris
pun meninggal dunia.
Ternyata Tuhan maha adil. Istri Tris pun
harus mengalami rasa sakit yang sangat perih dan kesedihan yang amat
sangat dalam seperti yang pernah kurasakan. Karena akhirnya Tris pun
menyusul Kojai dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun setelah Kojai
pergi mendahuluinya.
Sudah dapat dipastikan bagaimana
sedihnya istri Tris karena ditinggal oleh suami yang sangat dia cintai.
Hal yang sama yang pernah aku rasakan sebelumnya. Dan bagaikan
persahabatan yang sejati, Kojai dan teman-temannya pun kini telah
berkumpul kembali di alam mereka yang baru. Alam yang lebih abadi.
Apakah ini akhir dari sebuah persahabatan yang sejati? Entahlah. Yang
jelas mungkin ini adalah jalan yang terbaik bagi mereka. Setidaknya
mereka tak perlu lagi merasakan sakit. Mungkin dengan adanya kejadian
ini, banyak hikmah yang dapat kita ambil. Setidaknya bagi kita yang
ditinggalkan untuk menyelamatkan generasi penerus kita.
0 comments:
Post a Comment