Nyanyian Malam
Bulan yang kini terang, sebersit waktu yang akan datang menjelma bagai
gumpalan awan hitam. Yang tak sedikitpun cahaya terangnya menerobos
masuk ke celah jendela yang sempit dan pantulan bening pun tak mnyerap
sinarnya.
Kelitikan angin malam, menjalar ke setiap epidermis kulit yang tipis dan menghantam tulang muda bagai ombak pantai yang sedang tidak bersahabat. Di malam yang sesunyi ini, ia mendengar lagi nyanyian itu. Nyanyian merdu dari mulut bidadari malam. Nyanyian yang senantiasa merombak sedikit bunga tidur dan membiarkannya mengiringi setiap detik di malam gelap.
Malam ini, malam lalu, dan malam-malam selanjutnya pun tak akn pernah diam. Sebelum malam tak dapat lag datang.
***
Beberapa bulan di Jakarta, Bulan sudah banyak menemukan pelajaran yang sangat berarti baginya, terutama belajar menjadi seorang yang sederhana itu tidaklah sulit untuk dilakukan. Hanya saja harus dibarengi dengan rasa ikhlas yang kadang kala sangat mudah diucapkan namun ketir untuk dilakukan,namun itu menjadi penyumbang kesuksesan dan tentunya rasa sabar. Itu lah sekolah kehidupan yang kadang kala kita telah masuk dalam sekolah itu tapi kita belum mengerti bagaimana cara beradaptasi.
(by Herlan Blog)
“Oya Lan, loe masih ada jam kuliah nggak ?” tanya Vera sahabat baru Bulan, walau baru kenal dalam dua minggu ini, namun Vera teman yang baik. “Nggak kok Ver, emang kenapa ?” jawab Bulan sambil masih saja sibuk dengan buku pelajaran yang sedang ia baca.
“Hmmm, temenin gue ke perpus yuk ! buat cari makalah tentang kehidupan manusia”
“Ayo deh, !” Bulan mengiyakan ajakan Vera. Vera yang mengambil jurusan IPA Biologi, bisa saling berbagi ilmu pada Bulan yang menjurus ke ilmu Psikolog. Sebaliknya juga begitu. Ketika asyik keduanya sedang melintas di lapangan basket, terdengarlah kata perintah dari si komunikator, untuk segera menjauh dari tempat mereka berjalan. “AWAS . . . !!” bola yang berukuran cukup besar itu tepat melayang ke arah Bulan dan Vera. Dan dengan sigap Bulan menangkap bola itu, lalu dimasukkannya bola itu ke arah ring dan MASUK ! bola masuk dengan mulusnya. Lalu diteruskannya jalan mereka tanpa ada yang tahu siapa tadi yang memperingati jalan mereka.
***
(by Herlan Blog)
“Hai . . . !” teriak salah seorang dari kerumunan mahasiswa yang akan keluar dari tempat parkir. Bulan pun menoleh, dan didapatinya seorang cowok dengan tubuh tinggi tegap yang seraya berlari ke arah dia berdiri.
“Gue Revan. Kalau boleh tau, nama loe siapa ?” to the point tuh cowok memperkenalkan diri sambil megap-megap kayak ikan kehausan. “Gue Bulan.” Singkat Bulan seraya menjabat tangan cowok itu. “Gue anter pulang ya, mau nggak ?” ajegile, nih cowok bener-bener sukanya dadakan, bikin jantung Bulan hampir copot. Entah pertanyaan apa yang ada di benak Bulan, ia benar-benar heran pada sikap cowok di depannya. “Hah . . ?” Bulan melongo heran.
“Kenapa ‘HAH’ ?” Revan mengulang adegan Bulan, sambil tersenyum simpul. “Gue kagum sama lemparan bola loe yang kemarin, makanya gue mau lebih deket sama loe.” Dilanjut pernyataan Revan untuk bulan, yang so pastinya bikin Bulan makin heran.
“Oh, jadi loe yang kemarin neriakin gue ?” Bulan baru tersadar dari tidak engehnya sedari tadi tentang cowok di hadapannya.
“Iya, jadi gimana ? mau gue anter pulang ?” Revan mengulang pertanyaannya. Dan di jawab Bulan dengan anggukan malu, sebagai tanda setuju.
Motor pun melesat secepat Valentino Rossi dan dengan lincah menerobos kendaraan-kendaraan di depannya. Upz ! tapi ternyata ada sepasang mata yang menatap Bulan tak suka dari kejauhan. Itu jadi membuat Bulan tak enak boncengan dengan Revan, si cowok keren ini.
***
Lantunan syair itu menembus merdu sampai ke gendang telinga. Mendamaikan hati saat malam dan menjadi selimut tebal yang menghalangi angin dingin mnyereuak masuk ke badan. Nyanyian itu kembali terdengar tetapi terdengar samar-samar. Berlekak-lekuk mengirama, mendendangkan nada yang indah serta mangalun lembut bagai kapas.
Dari rumah sederhana itulah nyanyian malam berasal. Lantunan-lantunan kaligrafi kecil mengindahkan malam yang tanpa bulan ini.
***
“Eh ! loe yang namanya Bulan ?” tanya seorang cewek yang dandanannya yang menor. Lipstik and bedaknya yang balapan tebal.
“Iya kenapa ?” Bulan menahan tawa. Bukannya takut, malah pengen banget ketawa sekencang mungkin.
“Mulai sekarang loe jauhin Revan and nggak usah deket-deketin Revan lagi deh !” bentak sekaligus jadi ancaman buat Bulan.
“Oh, . . . . “ Bulan mengacuhkan cewek itu.
“Loe . . . “ cewek itu kesal karna omongannya tidak dihiraukan sama sekali dan siap melayangkan tangannya ke arah wajah Bulan. Tapi tiba-tiba tangannya terhenti, seperti ada yang menahannya.
“Jangan pernah loe sentuh cewek gue ! ngerti loe !” Revan marah dan membanting tangan cewek itu ke udara. Seketika aja Bulan kaget dan tersentak terkejut.
“Van, . . . “ cewek itu meringis sakit bukan karna cengkeraman tangan Revan, tapi karna mendengar ucapan Revan. Di sudut mata itu mengalir setitik air kesedihan yang terpancar dari raut wajah kecewanya.
“Ayo Lan, kita pergi !” Revan menarik tangan Bulan dan meninggalkan wanita itu dengan air matanya yang tertahan.
***
“Kenapa tadi siang Revan ngomong gitu ya ?” Tanya Bulan pada bayangannya di cermin.
“Akh ! paling dia Cuma mau ngebela gue. Dan nggak ada maksud apa-apa. Ya nggak Lan ?” Bulan pun bertanya lagi pada bayangannya. Ia sendiri pun merasa ada yang aneh semenjak Revan terlalu perhatian padanya. Hari-harinya berlalu dengan indah setelah adanya Revan hadir dalam hidupnya.
Lagi-lagi nyanyian yang merdu itu datang. Datang bersama bayangan itu, bayangan yang akhir-akhir ini mengganggu tidur malam dan hari-harinya.
***
Setiap hari siksaan itu datang. Siksaan yang berupa kata ataupun benar-benar menyentuh hidupnya, semenjak cewek itu tak suka Revan dekat-dekat Bulan. Begitupun terlebih sebaliknya. Siksaan itu datang tak dijemput pulang pun tak diantar. Setiap hari Bulan merasakan sakit yang teramat sakit, pada jiwa, hati dan raganya. Hingga ia tak mampu lagi bertahan. Hanya tangis dan tangis yang datang bersamaan dengan nyanyian itu. Nyanyian yang sekarang berubah pilu, serak karna air mata yang terus turun bagai air bah. Tanpa Revan mengetahui ini semua. Sampai hampir dua semester ini, siksaan itu terus datang. Hingga suatu ketika, ia pergi dengan cara yang konyol. Pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang tertulis rapi di selembar kertas biru.
Mungkin dengan adanya surat yang aku tulis untuk mu, kamu bisa merasakan luka ini. Merelakan aku pergi dengan luka itu, bersamaan nyanyian itu. Nyanyian yang setiap malam aku dendangkan kini yang berubah menjadi nyanyian malang di malam yang selalu gelap. Aku memang bodoh kenapa aku tidak mengatakannya langsung padamu. Andai pun waktu ini aku bisa memutarnya kembali ke belakang, mungkin aku akan datang lebih awal dari kepergianku.
Aku pun tak menginginkan ini terjadi. Tapi luka itu sudah membuat aku tuk cepat-cepat pergi dari hidupmu. Di sini dan di tempat ini aku akan tenang dengan kehidupanku yang baru. Jangan bersedih hati, karna aku akan selalu ada di setiap malam dan mimpimu bersama nyanyian itu.
Aku sayang dan cinta sama kamu, ku berharap kamu pun sebaliknya. Jaga dirimu baik-baik, karna aku akan selalu di hatimu dan kamu juga akan selalu bersama hati dan jiwa ku yang telah mati. Wassalam
Bulan,
***
Surat itu pun mengantarkan Revan menuju alamat rumah yang tertulis di halaman belakang surat. Dia tak yakin, tak percaya. Kaki dan tangannya bergetar hebat tak terarah. Air matanya pun mengalir deras bersamaan dengan derasnya air hujan yang mengguyur kota Jakarta saat itu.
Sesampainya di rumah yang dituju, Revan makin tersentak tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sebuah rumah yang bisa dibilang Istana itu adalah rumah Bulan. Padahal setahu Revan, Bulan adalah anak yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Kini dia baru sadar, bahwa Bulan memang wanita yang sempurna dan beda dengan wanita lain. Dengan sifat kerendahan yang dimiliki Bulan, Bulan mampu menutupi semua yang di anggapnya jauh dari kata sempurna menjadi lebih sempurna. Dadanya sesak, air matanya pun keluar lagi tak kalah deras. Dia hampir limbung dan terjatuh, tapi seperti ada yang menahan tubuhnya yang lemah itu.
“Bulan, ternyata loe. Loe kemana aja ? gue kangen sama loe” Revan tersenyum, menutupi air mata itu. Bulan pun ikut tersenyum simpul.
“Bulan, kok loe pucet banget sih ? loe sakit ya ?” bertubi-tubi pertanyaan yang dilontarkan Revan pada bulan, Bulan hanya diam sampai Bulan hanya menjawab setiap pertanyaan Revan dengan senyum. Lalu bulan pun berjalan di derasnya air hujan yang turun, diikuti Revan di belakangnya. Masih dengan rasa heran dan aneh Revan melihat Bulan yang masih saja diam.
“Astaghfirullah, siapa yang meninggal Lan ?” Revan terkejut dangan apa yang dilihatnya. Lagi-lagi Bulan hanya tersenyum. Tiba-tiba, nyanyian itu terdengar lagi, dan lebih jelas terdengar di telinga Revan. Astaga ! Bulan menangis. Bulan menangis bersama nyanyian itu. Revan menatap Bulan sedih. Ternyata nyanyian itu berasal dari mulut mungil seorang Bulan.
“Lan, loe kenapa nangis ?” suara Revan melemah seketika. Menahan tangis yang sedari tadi ia tutupi dari Bulan.
“Sebelum gue pergi, gue ingin loe samperin cewek yang ada di sana. Karna cewek itu sangat-sangat menyayangi loe semenjak kita ketemu untuk pertama kali.” Bulan melemah, air matanya pun tak bisa membohongi kalau dia sangat sedih.
Astaghfirullah. Revan seketika menangis di tempat. Ternyata cewek yang ada di hadapannya adalah Bulan. Jelegar !! petir menghantam dada Revan berulang kali, dan menyayatnya dengan sadis.
“Bulan . . . ! Bulan . . . !” Revan memanggil Bulan yang tadi berada di sampingnya. Tapi tidak ada, berarti tadi hanyalah bayangan Bulan. Yang ada hanya sosok Bulan yang terkujur tak bernyawa di hadapannya. Revan kembali menangis dan benar-benar terpukul jiwanya.
“Bulan, gue juga sayang banget sama loe. Jauh sebelum loe menyayangi gue. Kenapa kini loe malah ninggalin gue ?” suara Revan terbata tak kuat menahan sedih dan tangis.
“Bulan . . . . . . . . . !!” Revan berteriaksekencang mungkin. Berteriak melawan gemuruh hujan malam itu. Tiba-tiba saja, nyanyian itu terdengar lagi. Terdengar sangat jelas malam itu. Tapi sosok Bulan yang dicarinya sedang mengaji itu tidak ada di semua penjuru rumah, terlebih lagi di sisinya. Di sisi yang begitu lemah ketika Bulan pergi meninggalkannya.
***
Begitu sedih dan merasa kehilangan baru terlintas ketika orang yang kita kasihi tak ada lagi di sisi kita untuk selamanya. Jadikan hari-hari kita lebih berwarna disaat kita masih memiliki orang-orang yang kita kasihi, sebelum warna-warna itu pudar dan akhirnya menghilang di derasnya air mata yang mengalir menghiasinya.
Kelitikan angin malam, menjalar ke setiap epidermis kulit yang tipis dan menghantam tulang muda bagai ombak pantai yang sedang tidak bersahabat. Di malam yang sesunyi ini, ia mendengar lagi nyanyian itu. Nyanyian merdu dari mulut bidadari malam. Nyanyian yang senantiasa merombak sedikit bunga tidur dan membiarkannya mengiringi setiap detik di malam gelap.
Malam ini, malam lalu, dan malam-malam selanjutnya pun tak akn pernah diam. Sebelum malam tak dapat lag datang.
***
Bulan tetap memaksa ingin pindah kuliah ke Jakarta, tanpa memperdulikan
kekhawatiran sang bunda. Bukan karna ini, ia dianggap anak yang durhaka
dan tak mau menuruti kemauan sang bunda, namun prestasi yang memaksa ia
untuk tetap pindah ke Jakarta. Walau berat hati ia meninggalkan sang
bunda di rumah sendiri, tanpa ada sosok kepala keluarga. Namun ini juga
demi kelanjutan hidupnya dan sang bunda, setelah ditinggal oleh seorang
ayah sekaligus seorang suami yang mereka sayangi. Sejak kepergian sang
ayah, mereka memang tidak kekurangan sedikitpun untuk hal perekonomian.
Namun bukan begitu juga Bulan masih harus memakai peninggalan dari sang
ayah. Bulan ingin belajar menjadi seorang yang hidup dengan
kesederhanaan. Itu beberapa kalimat yang diucapkan Bulan pada sang bunda
sebelum ia pergi ke Jakarta dan menjadi orang perantau di sana. (by Herlan Blog)
***
Rumah ini jauh dari cukup untuk tempat sekedar hanya berteduh dari panasnya sinar matahari, dari rintikan air hujan yang kadang kala kurang bersahabat pada alam. Walau bisa dibilang sangat jauh sederhana dari rumahnya yang dulu ia tempati bersama ayah dan bundanya.
***
Rumah ini jauh dari cukup untuk tempat sekedar hanya berteduh dari panasnya sinar matahari, dari rintikan air hujan yang kadang kala kurang bersahabat pada alam. Walau bisa dibilang sangat jauh sederhana dari rumahnya yang dulu ia tempati bersama ayah dan bundanya.
Beberapa bulan di Jakarta, Bulan sudah banyak menemukan pelajaran yang sangat berarti baginya, terutama belajar menjadi seorang yang sederhana itu tidaklah sulit untuk dilakukan. Hanya saja harus dibarengi dengan rasa ikhlas yang kadang kala sangat mudah diucapkan namun ketir untuk dilakukan,namun itu menjadi penyumbang kesuksesan dan tentunya rasa sabar. Itu lah sekolah kehidupan yang kadang kala kita telah masuk dalam sekolah itu tapi kita belum mengerti bagaimana cara beradaptasi.
“Oya Lan, loe masih ada jam kuliah nggak ?” tanya Vera sahabat baru Bulan, walau baru kenal dalam dua minggu ini, namun Vera teman yang baik. “Nggak kok Ver, emang kenapa ?” jawab Bulan sambil masih saja sibuk dengan buku pelajaran yang sedang ia baca.
“Hmmm, temenin gue ke perpus yuk ! buat cari makalah tentang kehidupan manusia”
“Ayo deh, !” Bulan mengiyakan ajakan Vera. Vera yang mengambil jurusan IPA Biologi, bisa saling berbagi ilmu pada Bulan yang menjurus ke ilmu Psikolog. Sebaliknya juga begitu. Ketika asyik keduanya sedang melintas di lapangan basket, terdengarlah kata perintah dari si komunikator, untuk segera menjauh dari tempat mereka berjalan. “AWAS . . . !!” bola yang berukuran cukup besar itu tepat melayang ke arah Bulan dan Vera. Dan dengan sigap Bulan menangkap bola itu, lalu dimasukkannya bola itu ke arah ring dan MASUK ! bola masuk dengan mulusnya. Lalu diteruskannya jalan mereka tanpa ada yang tahu siapa tadi yang memperingati jalan mereka.
***
“Hai . . . !” teriak salah seorang dari kerumunan mahasiswa yang akan keluar dari tempat parkir. Bulan pun menoleh, dan didapatinya seorang cowok dengan tubuh tinggi tegap yang seraya berlari ke arah dia berdiri.
“Gue Revan. Kalau boleh tau, nama loe siapa ?” to the point tuh cowok memperkenalkan diri sambil megap-megap kayak ikan kehausan. “Gue Bulan.” Singkat Bulan seraya menjabat tangan cowok itu. “Gue anter pulang ya, mau nggak ?” ajegile, nih cowok bener-bener sukanya dadakan, bikin jantung Bulan hampir copot. Entah pertanyaan apa yang ada di benak Bulan, ia benar-benar heran pada sikap cowok di depannya. “Hah . . ?” Bulan melongo heran.
“Kenapa ‘HAH’ ?” Revan mengulang adegan Bulan, sambil tersenyum simpul. “Gue kagum sama lemparan bola loe yang kemarin, makanya gue mau lebih deket sama loe.” Dilanjut pernyataan Revan untuk bulan, yang so pastinya bikin Bulan makin heran.
“Oh, jadi loe yang kemarin neriakin gue ?” Bulan baru tersadar dari tidak engehnya sedari tadi tentang cowok di hadapannya.
“Iya, jadi gimana ? mau gue anter pulang ?” Revan mengulang pertanyaannya. Dan di jawab Bulan dengan anggukan malu, sebagai tanda setuju.
Motor pun melesat secepat Valentino Rossi dan dengan lincah menerobos kendaraan-kendaraan di depannya. Upz ! tapi ternyata ada sepasang mata yang menatap Bulan tak suka dari kejauhan. Itu jadi membuat Bulan tak enak boncengan dengan Revan, si cowok keren ini.
***
Lantunan syair itu menembus merdu sampai ke gendang telinga. Mendamaikan hati saat malam dan menjadi selimut tebal yang menghalangi angin dingin mnyereuak masuk ke badan. Nyanyian itu kembali terdengar tetapi terdengar samar-samar. Berlekak-lekuk mengirama, mendendangkan nada yang indah serta mangalun lembut bagai kapas.
Dari rumah sederhana itulah nyanyian malam berasal. Lantunan-lantunan kaligrafi kecil mengindahkan malam yang tanpa bulan ini.
***
“Eh ! loe yang namanya Bulan ?” tanya seorang cewek yang dandanannya yang menor. Lipstik and bedaknya yang balapan tebal.
“Iya kenapa ?” Bulan menahan tawa. Bukannya takut, malah pengen banget ketawa sekencang mungkin.
“Mulai sekarang loe jauhin Revan and nggak usah deket-deketin Revan lagi deh !” bentak sekaligus jadi ancaman buat Bulan.
“Oh, . . . . “ Bulan mengacuhkan cewek itu.
“Loe . . . “ cewek itu kesal karna omongannya tidak dihiraukan sama sekali dan siap melayangkan tangannya ke arah wajah Bulan. Tapi tiba-tiba tangannya terhenti, seperti ada yang menahannya.
“Jangan pernah loe sentuh cewek gue ! ngerti loe !” Revan marah dan membanting tangan cewek itu ke udara. Seketika aja Bulan kaget dan tersentak terkejut.
“Van, . . . “ cewek itu meringis sakit bukan karna cengkeraman tangan Revan, tapi karna mendengar ucapan Revan. Di sudut mata itu mengalir setitik air kesedihan yang terpancar dari raut wajah kecewanya.
“Ayo Lan, kita pergi !” Revan menarik tangan Bulan dan meninggalkan wanita itu dengan air matanya yang tertahan.
***
“Kenapa tadi siang Revan ngomong gitu ya ?” Tanya Bulan pada bayangannya di cermin.
“Akh ! paling dia Cuma mau ngebela gue. Dan nggak ada maksud apa-apa. Ya nggak Lan ?” Bulan pun bertanya lagi pada bayangannya. Ia sendiri pun merasa ada yang aneh semenjak Revan terlalu perhatian padanya. Hari-harinya berlalu dengan indah setelah adanya Revan hadir dalam hidupnya.
Lagi-lagi nyanyian yang merdu itu datang. Datang bersama bayangan itu, bayangan yang akhir-akhir ini mengganggu tidur malam dan hari-harinya.
***
Setiap hari siksaan itu datang. Siksaan yang berupa kata ataupun benar-benar menyentuh hidupnya, semenjak cewek itu tak suka Revan dekat-dekat Bulan. Begitupun terlebih sebaliknya. Siksaan itu datang tak dijemput pulang pun tak diantar. Setiap hari Bulan merasakan sakit yang teramat sakit, pada jiwa, hati dan raganya. Hingga ia tak mampu lagi bertahan. Hanya tangis dan tangis yang datang bersamaan dengan nyanyian itu. Nyanyian yang sekarang berubah pilu, serak karna air mata yang terus turun bagai air bah. Tanpa Revan mengetahui ini semua. Sampai hampir dua semester ini, siksaan itu terus datang. Hingga suatu ketika, ia pergi dengan cara yang konyol. Pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang tertulis rapi di selembar kertas biru.
Mungkin dengan adanya surat yang aku tulis untuk mu, kamu bisa merasakan luka ini. Merelakan aku pergi dengan luka itu, bersamaan nyanyian itu. Nyanyian yang setiap malam aku dendangkan kini yang berubah menjadi nyanyian malang di malam yang selalu gelap. Aku memang bodoh kenapa aku tidak mengatakannya langsung padamu. Andai pun waktu ini aku bisa memutarnya kembali ke belakang, mungkin aku akan datang lebih awal dari kepergianku.
Aku pun tak menginginkan ini terjadi. Tapi luka itu sudah membuat aku tuk cepat-cepat pergi dari hidupmu. Di sini dan di tempat ini aku akan tenang dengan kehidupanku yang baru. Jangan bersedih hati, karna aku akan selalu ada di setiap malam dan mimpimu bersama nyanyian itu.
Aku sayang dan cinta sama kamu, ku berharap kamu pun sebaliknya. Jaga dirimu baik-baik, karna aku akan selalu di hatimu dan kamu juga akan selalu bersama hati dan jiwa ku yang telah mati. Wassalam
Bulan,
***
Surat itu pun mengantarkan Revan menuju alamat rumah yang tertulis di halaman belakang surat. Dia tak yakin, tak percaya. Kaki dan tangannya bergetar hebat tak terarah. Air matanya pun mengalir deras bersamaan dengan derasnya air hujan yang mengguyur kota Jakarta saat itu.
Sesampainya di rumah yang dituju, Revan makin tersentak tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sebuah rumah yang bisa dibilang Istana itu adalah rumah Bulan. Padahal setahu Revan, Bulan adalah anak yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Kini dia baru sadar, bahwa Bulan memang wanita yang sempurna dan beda dengan wanita lain. Dengan sifat kerendahan yang dimiliki Bulan, Bulan mampu menutupi semua yang di anggapnya jauh dari kata sempurna menjadi lebih sempurna. Dadanya sesak, air matanya pun keluar lagi tak kalah deras. Dia hampir limbung dan terjatuh, tapi seperti ada yang menahan tubuhnya yang lemah itu.
“Bulan, ternyata loe. Loe kemana aja ? gue kangen sama loe” Revan tersenyum, menutupi air mata itu. Bulan pun ikut tersenyum simpul.
“Bulan, kok loe pucet banget sih ? loe sakit ya ?” bertubi-tubi pertanyaan yang dilontarkan Revan pada bulan, Bulan hanya diam sampai Bulan hanya menjawab setiap pertanyaan Revan dengan senyum. Lalu bulan pun berjalan di derasnya air hujan yang turun, diikuti Revan di belakangnya. Masih dengan rasa heran dan aneh Revan melihat Bulan yang masih saja diam.
“Astaghfirullah, siapa yang meninggal Lan ?” Revan terkejut dangan apa yang dilihatnya. Lagi-lagi Bulan hanya tersenyum. Tiba-tiba, nyanyian itu terdengar lagi, dan lebih jelas terdengar di telinga Revan. Astaga ! Bulan menangis. Bulan menangis bersama nyanyian itu. Revan menatap Bulan sedih. Ternyata nyanyian itu berasal dari mulut mungil seorang Bulan.
“Lan, loe kenapa nangis ?” suara Revan melemah seketika. Menahan tangis yang sedari tadi ia tutupi dari Bulan.
“Sebelum gue pergi, gue ingin loe samperin cewek yang ada di sana. Karna cewek itu sangat-sangat menyayangi loe semenjak kita ketemu untuk pertama kali.” Bulan melemah, air matanya pun tak bisa membohongi kalau dia sangat sedih.
Astaghfirullah. Revan seketika menangis di tempat. Ternyata cewek yang ada di hadapannya adalah Bulan. Jelegar !! petir menghantam dada Revan berulang kali, dan menyayatnya dengan sadis.
“Bulan . . . ! Bulan . . . !” Revan memanggil Bulan yang tadi berada di sampingnya. Tapi tidak ada, berarti tadi hanyalah bayangan Bulan. Yang ada hanya sosok Bulan yang terkujur tak bernyawa di hadapannya. Revan kembali menangis dan benar-benar terpukul jiwanya.
“Bulan, gue juga sayang banget sama loe. Jauh sebelum loe menyayangi gue. Kenapa kini loe malah ninggalin gue ?” suara Revan terbata tak kuat menahan sedih dan tangis.
“Bulan . . . . . . . . . !!” Revan berteriaksekencang mungkin. Berteriak melawan gemuruh hujan malam itu. Tiba-tiba saja, nyanyian itu terdengar lagi. Terdengar sangat jelas malam itu. Tapi sosok Bulan yang dicarinya sedang mengaji itu tidak ada di semua penjuru rumah, terlebih lagi di sisinya. Di sisi yang begitu lemah ketika Bulan pergi meninggalkannya.
***
Begitu sedih dan merasa kehilangan baru terlintas ketika orang yang kita kasihi tak ada lagi di sisi kita untuk selamanya. Jadikan hari-hari kita lebih berwarna disaat kita masih memiliki orang-orang yang kita kasihi, sebelum warna-warna itu pudar dan akhirnya menghilang di derasnya air mata yang mengalir menghiasinya.
0 comments:
Post a Comment