Istanamu Hanya Untuknya
Tetes demi tetes masih tersisa dari hujan sore itu. Hiruk pikuk para
pekerja kantoran dan beberapa anak berseragam putih abu-abu terdengar
sayup-sayup dari kejauhan dibawah sebuah halte bus yang menyelamatkan
mereka dari tetes-tetes menyejukkan dan cipratan lumpur di sekitar
tempat itu. Aku berlari menuju sebuah halte bus untuk menyelamatkan
diri dari tetesan itu seperti orang-orang kebanyakan, dan berdiri
sejajar dengan mereka. Tepat pukul 16.00 bus Kopaja berhenti di
hadapanku, bus yang penuh sesak itu tetap memaksaku untuk tetap ku
masuki. Saat ku coba memegang salah satu tiang dari bus untuk membantuku
naik, aku terjatuh karena secara tiba-tiba bus itu menyalakan mesinnya
dan melaju. “arrghh sial”. Saat ku paksa diriku untuk bangkit, hampir
saja aku terhuyung jatuh karena kakiku terlalu sakit untuk menyangga
tubuhku.
Ada genggaman lembut yang datang untukku, aku terkejut. Kulihatnya pria tampan berperawakan tinggi berkacamata itu. Pria itu menatapku, dan genggaman itu semakin erat kurasakan. Wangi tubuhnya, sorot matanya, membuatku mati kaku dengan perlakuan lembutnya. “kamu nggak kenapa-napa kan?”. Dia memulai percakapan itu dengan nada khawatir yang sangat kentara. “hmmm nggak kenapa-napa kok, cuman lecet sedikit”. “biar aku bantu, hati-hati ya, mending kamu duduk dulu aja”. Kemudian dia memapahku bangun dan membantuku untuk duduk di salah satu bangku halte. “tunggu disini ya, jangan pergi sebelum aku kembali”. Pria itu berlalu menjauhiku. Kurasa kakiku sudah tidak terasa sakit. Setengah jam berlalu, aku tetap menanti sosok itu muncul dari kejauhan, aku mulai bosan. Bus pun tak kunjung datang. Hujan lebat kembali membasahi tanah ini, suara gemercik hujan menemani kesendirianku.
Tak begitu jauh dari tempatku duduk, ku lihat sebuah tas hitam bodypack tak bertuan. Aku mencoba untuk meraihnya, dan tas itupun jatuh memuntahkan apa yang ada didalamnya, aku bingung dan heran, namun tak tahu harus bertanya kepada siapa, karena hanya diriku dan percikan air hujan ini yang menemani. Sesaat kemudian, ku putuskan untuk mengambil satu persatu isi dari tas tersebut. Ku lihat ada beberapa buku-buku kosong serta foto-foto yang berserakan, sosok itu, aku mengenalnya, bahkan sangat kupahami.
Ada foto diriku terpampang jelas di foto-foto itu, sangat jelas. Dilihat dari latar yang ada, foto ini diambil saat aku sedang menanti bus, disini, di tempat ini. Hanya sosok diriku dalam foto-foto itu. siapa pemilik tas ini? Apakah aku mengenalnya? Kemudian, aku segera mencari identitas dari pemilik tas ini. Kenapa semua isinya hanya ada fotoku? Dan beberapa buku kosong tak bernama? Tanpa pikir panjang aku membawa tas itu dan berlari mengejar sebuah taksi yang melaju melewati halte. Aku harus tau siapa pemilik tas ini. Hanya pikiran itu yang memenuhi otakku saat ini. Aku tak bisa berlama-lama menanti sosok pria tadi dengan kebingunganku dengan tas yang ku bawa ini.
Aku menatap jendela kamarku yang terbuka, semilir angin malam masuk melalui cela itu, dingin yang begitu terasa memaksaku untuk segera menutup jendela kamarku. Pikiranku langsung tertuju pada kejadian sore tadi, sontak aku langsung meraih tas yang kutemukan tidak jauh dari halte. Aku membuka lembar demi lembar kertas di salah satu buku, berharap menemukan titik terang. Apa maksud dari semua ini? Sejauh ini aku masih berusaha untuk mengetahuinya. Aku terkesima, lembar terakhir dalam buku ini adalah sebuah puisi yang ditujukan untuk diriku. Aku membacanya dengan hati yang tak bisa ku ungkapkan.
Ganesya
Aku adalah pecundang
Melihatmu hanya mampu ku menjauh
Kau bukan yang ku tahu
Namun kau adalah yang ku tuju
Hati ini sakit melihatmu
Karena tak berani ku mencintaimu
Ganesya Putri Pratami,
Aku, sungguh mencintaimu
M.S
Ganesya, itu namaku! Siapa orang ini? Tuhan. Aku semakin tak mengerti..
Hari demi hari, aku selalu menanti kedatangan sosok itu, dia yang menolongku di tempat ini, sebuah halte kusam dekat sekolahku. Panas yang menghiasi beberapa hari ini tak mengurungkan niatku untuk menanti sosok berkacamata tiu. Setiap kali aku beranjak untuk pulang, sesak rasanya hati ini. Belum juga kutemukan titik terang dari sebuah rahasia tak kentara. Hingga hari ke-16 aku tetap menanti. Seperti biasa, aku duduk termenung menanti bus Kopaja di halte mungil sore itu. hujan kembali menemaniku dengan suara cerianya yang memecak kesunyian hatiku. Aku galau, melamun seperti patung kematian.
Beberapa kali aku mencoba menempati tetesan air hujan kedalam genggamanku. Hanya sekedar menghibur diri. Di saat itu pula, mata ini kupaksakan untuk melihat sosok di antara banyaknya kendaraan yang lalu lalang di seberang jalan. Ya! Aku mengenalnya. Namun ia terlihat begitu berbeda dengan baju putih dan celana abu-abu yang ia kenakan. Sorot mata yang tajam namun lembut itu tertuju padaku. Kurasakan bibir ini tersenyum lebar dengan sendirinya, hati ini semakin tak menentu. Inilah akhir dari penantian dari semua rasa penasaranku. Kulambaikan tanganku kepadanya, dia ia membalas dengan senyum khasnya. “hay kamu! Kemarilah, aku belum tahu siapa kamu?”. Aku berteriak memanggilnya dari seberang jalan. Ku liat dia mengganggukan kepalanya tanda mengerti.
Saat ia melangkah, sebuah mobil Everest melaju tanpa henti menghantam dirinya, tubuh itu jatuh tak terkira dibawah tetesan hujan dan teriakkan beberapa orang yang melihatnya. Wajah ini pucat pasi tak berkutik, entah shock atau terkejut. ku hampiri tubuh itu dengan langkah seakan terseok-seok. Beberapa orang terlihat mengerubungi tubuh itu. aku melihatnya, sosok yang ku cari selama ini, kini aku melihatnya lebih jelas dengan tubuh yang terbujur kaku dengan tetesan air hujan yang menyambut kepergiannya. Satu langkah itu telah mengantarnya ke sisi Tuhan. Aku memeluk erat tubuh itu, ku kecup keningnya tanpa sadar dengan apa yang sedang aku lakukan. Sebuah panggilan hati. Kupaksakan diriku untuk tidak menangis, agar dia tenang dialam yang berbeda. Aku harap dia tersenyum melihatku disana.
Tuhan, mengapa disaat aku mulai mencintainya kau pertenukan aku dengan cara yang seperti ini?. Aku menangis dalam hati. Aku mencintai seseorang yang namanya pun aku tak tahu. Oh Tuhan! Aku teringat sesuatu, mataku mencari identitas dari orang ini, dia yang aku cintai. Pada badge namanya tertulis jelas “Mahardika Syahreza” yang tak tertutup oleh lumuran darah yang menutupi sebagian baju putihnya. Aku tersenyum lemah, kini aku telah mengerti sebuah nama itu, setelah ia meninggalkanku.
Beberapa hari setelah kepergian Dika, aku masih merasa sepi. Aku menangis. Ku coba mengusir kesedihan ini dengan menulis. Iya, mungkin diaryku bisa sedikit membantu. Buku Diary yang biasa ku taruh dibawah bantal tak kutemukan adanya. Aku terus mencari di beberapa tumpukkan buku pelajaran sekolah milikku. Satu buku terjatuh menimpa kakiku dan segera ku ambil. Di pertengahan buku itu aku menemukan sebuah puisi yang langsung kubaca,
Sedih bukan ciri dirimu,
Termenung tak pernah kutemukan darimu
Ketika aku telah pergi,
Bukan tangis yang ingin ku lihat
Tetapi senyum hangatmu
Yang selalu melengkapiku
Maaf,
Aku memang harus pergi
Ganesya,
Kau selalu memberiku keabadian
Jika kau merelakanku pergi,
Namun ingatlah,
Cinta ini tetap ada
Meski di alam yang berbeda.
M.S
M.S? Apa mungkin penulis ini adalah kau yang kusayang? Mahardika Syahreza!. Apa kau yang selama ini selalu melihatku dari kejauhan? Apakah kau yang mengirimkan puisi-puisi untukku? Benarkah kau pemilik tas ini? Tuhan, jika benar dia. Titipkan kasih sayang ini kedalam surga cinta-Mu yang abadi. Jaga dia, lindungi dia sampai saat nanti kan kususul dia ke dalam istana-Mu Tuhan.
Rizky Ramadhan.
Ada genggaman lembut yang datang untukku, aku terkejut. Kulihatnya pria tampan berperawakan tinggi berkacamata itu. Pria itu menatapku, dan genggaman itu semakin erat kurasakan. Wangi tubuhnya, sorot matanya, membuatku mati kaku dengan perlakuan lembutnya. “kamu nggak kenapa-napa kan?”. Dia memulai percakapan itu dengan nada khawatir yang sangat kentara. “hmmm nggak kenapa-napa kok, cuman lecet sedikit”. “biar aku bantu, hati-hati ya, mending kamu duduk dulu aja”. Kemudian dia memapahku bangun dan membantuku untuk duduk di salah satu bangku halte. “tunggu disini ya, jangan pergi sebelum aku kembali”. Pria itu berlalu menjauhiku. Kurasa kakiku sudah tidak terasa sakit. Setengah jam berlalu, aku tetap menanti sosok itu muncul dari kejauhan, aku mulai bosan. Bus pun tak kunjung datang. Hujan lebat kembali membasahi tanah ini, suara gemercik hujan menemani kesendirianku.
Tak begitu jauh dari tempatku duduk, ku lihat sebuah tas hitam bodypack tak bertuan. Aku mencoba untuk meraihnya, dan tas itupun jatuh memuntahkan apa yang ada didalamnya, aku bingung dan heran, namun tak tahu harus bertanya kepada siapa, karena hanya diriku dan percikan air hujan ini yang menemani. Sesaat kemudian, ku putuskan untuk mengambil satu persatu isi dari tas tersebut. Ku lihat ada beberapa buku-buku kosong serta foto-foto yang berserakan, sosok itu, aku mengenalnya, bahkan sangat kupahami.
Ada foto diriku terpampang jelas di foto-foto itu, sangat jelas. Dilihat dari latar yang ada, foto ini diambil saat aku sedang menanti bus, disini, di tempat ini. Hanya sosok diriku dalam foto-foto itu. siapa pemilik tas ini? Apakah aku mengenalnya? Kemudian, aku segera mencari identitas dari pemilik tas ini. Kenapa semua isinya hanya ada fotoku? Dan beberapa buku kosong tak bernama? Tanpa pikir panjang aku membawa tas itu dan berlari mengejar sebuah taksi yang melaju melewati halte. Aku harus tau siapa pemilik tas ini. Hanya pikiran itu yang memenuhi otakku saat ini. Aku tak bisa berlama-lama menanti sosok pria tadi dengan kebingunganku dengan tas yang ku bawa ini.
Aku menatap jendela kamarku yang terbuka, semilir angin malam masuk melalui cela itu, dingin yang begitu terasa memaksaku untuk segera menutup jendela kamarku. Pikiranku langsung tertuju pada kejadian sore tadi, sontak aku langsung meraih tas yang kutemukan tidak jauh dari halte. Aku membuka lembar demi lembar kertas di salah satu buku, berharap menemukan titik terang. Apa maksud dari semua ini? Sejauh ini aku masih berusaha untuk mengetahuinya. Aku terkesima, lembar terakhir dalam buku ini adalah sebuah puisi yang ditujukan untuk diriku. Aku membacanya dengan hati yang tak bisa ku ungkapkan.
Ganesya
Aku adalah pecundang
Melihatmu hanya mampu ku menjauh
Kau bukan yang ku tahu
Namun kau adalah yang ku tuju
Hati ini sakit melihatmu
Karena tak berani ku mencintaimu
Ganesya Putri Pratami,
Aku, sungguh mencintaimu
M.S
Ganesya, itu namaku! Siapa orang ini? Tuhan. Aku semakin tak mengerti..
Hari demi hari, aku selalu menanti kedatangan sosok itu, dia yang menolongku di tempat ini, sebuah halte kusam dekat sekolahku. Panas yang menghiasi beberapa hari ini tak mengurungkan niatku untuk menanti sosok berkacamata tiu. Setiap kali aku beranjak untuk pulang, sesak rasanya hati ini. Belum juga kutemukan titik terang dari sebuah rahasia tak kentara. Hingga hari ke-16 aku tetap menanti. Seperti biasa, aku duduk termenung menanti bus Kopaja di halte mungil sore itu. hujan kembali menemaniku dengan suara cerianya yang memecak kesunyian hatiku. Aku galau, melamun seperti patung kematian.
Beberapa kali aku mencoba menempati tetesan air hujan kedalam genggamanku. Hanya sekedar menghibur diri. Di saat itu pula, mata ini kupaksakan untuk melihat sosok di antara banyaknya kendaraan yang lalu lalang di seberang jalan. Ya! Aku mengenalnya. Namun ia terlihat begitu berbeda dengan baju putih dan celana abu-abu yang ia kenakan. Sorot mata yang tajam namun lembut itu tertuju padaku. Kurasakan bibir ini tersenyum lebar dengan sendirinya, hati ini semakin tak menentu. Inilah akhir dari penantian dari semua rasa penasaranku. Kulambaikan tanganku kepadanya, dia ia membalas dengan senyum khasnya. “hay kamu! Kemarilah, aku belum tahu siapa kamu?”. Aku berteriak memanggilnya dari seberang jalan. Ku liat dia mengganggukan kepalanya tanda mengerti.
Saat ia melangkah, sebuah mobil Everest melaju tanpa henti menghantam dirinya, tubuh itu jatuh tak terkira dibawah tetesan hujan dan teriakkan beberapa orang yang melihatnya. Wajah ini pucat pasi tak berkutik, entah shock atau terkejut. ku hampiri tubuh itu dengan langkah seakan terseok-seok. Beberapa orang terlihat mengerubungi tubuh itu. aku melihatnya, sosok yang ku cari selama ini, kini aku melihatnya lebih jelas dengan tubuh yang terbujur kaku dengan tetesan air hujan yang menyambut kepergiannya. Satu langkah itu telah mengantarnya ke sisi Tuhan. Aku memeluk erat tubuh itu, ku kecup keningnya tanpa sadar dengan apa yang sedang aku lakukan. Sebuah panggilan hati. Kupaksakan diriku untuk tidak menangis, agar dia tenang dialam yang berbeda. Aku harap dia tersenyum melihatku disana.
Tuhan, mengapa disaat aku mulai mencintainya kau pertenukan aku dengan cara yang seperti ini?. Aku menangis dalam hati. Aku mencintai seseorang yang namanya pun aku tak tahu. Oh Tuhan! Aku teringat sesuatu, mataku mencari identitas dari orang ini, dia yang aku cintai. Pada badge namanya tertulis jelas “Mahardika Syahreza” yang tak tertutup oleh lumuran darah yang menutupi sebagian baju putihnya. Aku tersenyum lemah, kini aku telah mengerti sebuah nama itu, setelah ia meninggalkanku.
Beberapa hari setelah kepergian Dika, aku masih merasa sepi. Aku menangis. Ku coba mengusir kesedihan ini dengan menulis. Iya, mungkin diaryku bisa sedikit membantu. Buku Diary yang biasa ku taruh dibawah bantal tak kutemukan adanya. Aku terus mencari di beberapa tumpukkan buku pelajaran sekolah milikku. Satu buku terjatuh menimpa kakiku dan segera ku ambil. Di pertengahan buku itu aku menemukan sebuah puisi yang langsung kubaca,
Sedih bukan ciri dirimu,
Termenung tak pernah kutemukan darimu
Ketika aku telah pergi,
Bukan tangis yang ingin ku lihat
Tetapi senyum hangatmu
Yang selalu melengkapiku
Maaf,
Aku memang harus pergi
Ganesya,
Kau selalu memberiku keabadian
Jika kau merelakanku pergi,
Namun ingatlah,
Cinta ini tetap ada
Meski di alam yang berbeda.
M.S
M.S? Apa mungkin penulis ini adalah kau yang kusayang? Mahardika Syahreza!. Apa kau yang selama ini selalu melihatku dari kejauhan? Apakah kau yang mengirimkan puisi-puisi untukku? Benarkah kau pemilik tas ini? Tuhan, jika benar dia. Titipkan kasih sayang ini kedalam surga cinta-Mu yang abadi. Jaga dia, lindungi dia sampai saat nanti kan kususul dia ke dalam istana-Mu Tuhan.
Rizky Ramadhan.
0 comments:
Post a Comment